Tak terasa hari ini sudah hari Sabtu. Pelajaran-pelajaran selama seminggu masih belum terlalu sulit. Belum ada PR dan tugas sama sekali. Jadi Minggu ini saya kosong!

Sekarang sudah jam istirahat yang terakhir. Saya baru saja kembali dari kantin dan masuk ke kelas. Di kelas, Daniel dan dua orang lainnya sedang berkumpul dan diskusi sesuatu yang sepertinya sangat seru. Melihat aku berjalan masuk, Daniel langsung melambaikan tangannya menyuruh saya ke sini. Karena gak ada kerjaan saya pun ikut nimbrung deh.

“Nah, karena lo baru datang saya jelasin dulu sebentar biar nyambung. Ternyata si Felix ini punya kemampuan untuk melihat makhluk halus,” ujar Daniel penuh semangat.

“Gak selalu sih, kadang-kadang saja,” ujar Felix sambil tersenyum malu-malu. Felix adalah teman baruku. Kami baru berkenalan beberapa hari pas orientasi kemarin. Dia anak yang pendiam. Dan karena dia berkacamata, dia jadi terlihat seperti anak pintar. Tipikal anak pintar yang pendiam, menurutku.

“Nah, karena Felix bisa melihat hantu, trus kebetulan di belakang gedung sekolah ini ada toilet berhantu, maka ini cocok melakukan investigasi,” lanjut Daniel.

“Oh, terus hasilnya gimana?” tanya aku penasaran.

“Belum ada hasil. Tadi kami bertiga sempat ke belakang sono buat lihat-lihat. Tapi kata Felix gak kelihatan apa-apa,” jawab Ismail. Kalau Ismail, sudah saya kenal semenjak SMP. Satu sekolah bareng aku dan Daniel. Sahabat karib si Daniel. Mereka selalu sekelas semenjak SMP kelas 7, hingga sekarang. Biasanya kalau mereka bersama, selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak jelas. Contohnya, mengganti spidol di kelas dengan spidol permanen untuk melihat bagaimana reaksi guru saat menyadari tulisannya tidak bisa dihapus. Atau menukar posisi meja dan kursi siswa sehari sebelum ulangan untuk melihat kehebohan anak-anak karena coret-coret contekan di mejanya hilang…

“Iya, seperti yang gua bilang, gak pasti selalu bisa melihat. Soalnya kadang bisa kadang nggak. Trus, kalau kelihatan pun seringnya hanya samar-samar, atau hanya di sudut mata saja. Jarang sampai kelihatan jelas,” jelas Felix lagi.

“Oh… Trus, manggil saya buat apa?” tanya aku heran. Kan gak ada hasilnya.

“Nah, ini belum habis. Biasanya kan penampakan jarang muncul di siang hari. Jadi kami pikir kita harus mencobanya di malam hari,” ungkap Daniel.

Sial, aku tahu ini akan mengarah ke mana.

“Besok kan Minggu. Jadi, gimana kalau…”

“Sinting kalian! Kalian mau datang ke sini malam …umh!” ucap aku yang terkejut tetapi langsung terpotong karena si Daniel dan si Ismail langsung kompak menutup mulut saya.

“Jangan keras-keras bego,” ujar Daniel terburu-buru.

“Iya, bahaya kalau ketahuan,” lanjut Ismail.

“Bleh… Ok, trus gimana caranya kalian nyelinap sekolah malam ini?” tanya aku lagi.

“Nah, tadi diskusinya sampai di situ bro. Jadi sekarang kita mau bicarakan gimana caranya. Apakah manjat pagar. Atau sembunyi di gedung sampai malam hari,” jelas Daniel sambil menggosok-gosok tangannya karena mungkin ada bekas air liur saya tadi (Siapa suruh nutup-nutup mulut orang). Ismail lebih cerdas, dia mengelap tangannya ke baju seragam Daniel.

“Saya sempat dengar katanya kalau sekolah ini pas malam hari tetap ada petugas keamanannya. Jadi kita musti ekstra hati-hati juga,” pinta Ismail.

Ugh, ini rasanya terlalu riskan. “Ok, menurut saya ini agak konyol. Kalian curi-curi masuk sekolah, harus susah payah menghindari satpam dan tujuannya hanya mau melihat hantu yang entah beneran apa kagak? Felix, lo emang mau ikut mereka?”

Felix agak sungkan untuk menjawab.

“Ah, dia udah ok kok,” jawab Ismail sambil mengalungkan lengannya ke pundak Felix. “Lo juga ikut saja. Lo pasti penasaran kan?”

Aku memang penasaran, tetapi menyelinap sekolah di malam hari apa nggak kena …

Daniel tiba-tiba celetuk “Btw, film Walking Dead season terbaru udah gua selesai download..”

“OK aku ikut!” jawab aku dengan mantap. Sial! Aku memang gampang dibeli. Tetapi rumahku gak ada Internet, jadi gak bisa nonton film yang satu itu. Daniel satu-satunya penyelamatku. Doris, kembarannya, gak suka film itu jadi gak bisa minta dengannya.

Ismail tersenyum bangga dengan sohibnya, “Bagus, bagus. Ok, saya ada ide. Bagaimana kalau rencananya…”

 

Dan begitulah sekarang jam 9 malam, dan kami berempat berdiri di luar gerbang sekolah. Tadinya aku mengira si Felix bakalan gak datang. Jadi hari ini kita batal. Tetapi karena orang sudah lengkap kami mulai beraksi. Sesuai prediksi, di depan sekolah sudah sepi. Gak heran sih, posisi sekolah kami agak ke dalam, bukan di tepi jalan raya. Jadi pasti sepi kalau sudah malam.

Kami mengecek gerbang. Ternyata gak digembok. Jadi kami perlahan-lahan mendorong gerbang, menyelinap masuk, dan merapatkan gerbangnya kembali. Karena kami masuk dari Gedung Selatan, jadi rute yang kami tempuh adalah berjalan melintasi Gedung Barat, baru sampai di belakang toilet.

Sekolah di malam hari memang betul-betul berbeda. Tidak ada satu bola lampu yang menyala. Untungnya karena mata kami sudah terbiasa dengan gelap dari tadi, jadi bisa melihat cukup baik. Cahaya bulan juga membantu kami melangkah. Aku tidak melihat ada seorangpun selain kami. Sepertinya info tentang satpam yang jaga malam itu gak benar.

Tapi kalau begitu, kenapa gerbang sekolah gak dikunci? Emang amankah sekolah ditinggal begitu?

Kami berjalan menepi menyusuri tembok biar gak dilihat siapa-siapa. Kami gak berani menyalakan senter, karena bisa-bisa langsung ketahuan satpam atau siapa.

Untungnya kami berjalan melewati Gedung Barat tanpa kendala. Ternyata jauh lebih gampang dari dugaan kami semua. Pas sampai di Gedung Utara, kami mulai berjalan lebih pelan. Agak takut kalau tiba-tiba ada penampakan.

Felix dan Ismail di belakang, sedangkan Daniel dan aku berjalan paling depan.

“Lix, apa kamu melihat sesuatu?” bisik Daniel. Aku menelan ludah. Entah mengapa udara di sekitar sini jauh lebih dingin. Apa mungkin perasaanku saja?

“Gak, gak kelihatan apa-apa,” jawab Felix dengan suara kecil.

“OK, kita coba dekatin dulu lalu coba lihat lebih seksama lagi.”

Kami berjalan semakin dekat. Jujur aku belum pernah mendekati toilet tua ini, bahkan di siang hari. Jadi ini adalah pertama kalinya aku melihatnya secara dekat. Ternyata lumayan horor. Cat-cat tembok toilet banyak yang terkelupas. Palang kayu menutupi keempat pintu secara rapat-rapat, mencoba menghalau orang luar untuk mendekatinya.

Kami sekarang sudah berada berdiri tepat di depan toiletnya. Semilir angin malam membuat aku kegigilan, biarpun sudah mengenakan jaket. Duh, sampai berapa lama yah harus di sini.

“Yuk, kita coba ke bagian belakang toiletnya ajah,” saran Ismail.

Kami pun berjalan mengitari lalu bergerak ke belakang. Ternyata di belakang toilet ada tanah berumput yang lumayan luas. Di situ ada tanaman dan pohon-pohon. Kemudian ada tembok yang memisahkan sekolah dengan rumah warga. Tembok sekolah sebetulnya kurang berguna. Soalnya, rumah warganya itu sendiri lumayan tinggi, sepertinya tiga lantai. Tidak mungkin ada yang bisa menyelinap lewat sini (kecuali penghuni rumahnya, lewat jendela lompat turun). Aku melihat jendela di rumah itu masih menyala. Penghuninya mungkin sedang istirahat santai di sana.

Felix sendiri berjalan ke bawah pohon dan mendongak ke atas. Habis itu mencoba memicingkan matanya.

Ismail dan Daniel yang berdiri di belakang melihat Felix dengan tatapan penuh harap. Felix kembali menggeleng-geleng kepala. Aku yang mulai bosan, jadi mengeluarkan handphone dan melihat di layarnya tertera jam 9.40.

Tadinya saya bermaksud ajak anak-anak untuk udahan dan pulang namun saya urungkan. Dari kejauhan ada seberkas cahaya senter yang mengarah ke lantai. Segera saya reflek lari ke mereka yang masih di bawah pohon untuk segera bersembunyi di balik pohon dan semak-semak karena ada yang mendekat.

Tidak berapa lama, benar saja sinar senter itu mulai mendekat. Suara langkah kaki yang tadinya mengenai semen, kini terdengar suara pijakan lembut tandanya menginjak tanah berumput. Seseorang berada di dekat toilet belakang. Mungkin petugas satpam yang sedang patroli.

Dia berjalan mendekat, kemudian menyenter kiri dan kanan. Posisi kami ada di pohon dan semak samping kanan toilet, letaknya agak ke belakang. Jadi senter itu untungnya tidak mengenai ke arah kami.

Satpam itu setelah memastikan tidak ada orang akhirnya diam saja menatap toilet. Cukup lama dia berdiri. Seperti berpikir sesuatu, atau jangan-jangan menanti sesuatu?

Gawat, apa kami ketahuan?

Felix tiba-tiba berbisik, “Itu bukannya Pak Andre?”

Aku agak terkejut. Dari posisi aku sembunyi, aku tidak bisa melihat wajahnya, hanya bisa melihat kakinya. Tetapi aku nekat bergeser sedikit untuk memastikannya. Dan memang benar, itu Pak Andre!

Untuk apa dia tengah malam di sini? Lihat hantu juga?

Pak Andre berdiri cukup lama di depan pintu toilet. Berdiri saja menatap kosong di depan. Aku tidak dapat melihat jelas. Mungkin ada 15 menit dia berdiri begitu saja.

Felix entah mengapa gemetaran melihat Pak Andre. Mungkin karena dia anak baik-baik, tidak terbiasa melanggar aturan. Jadi pasti akan syok kalau sampai ketahuan guru, renungku.

Pak Andre mulai berjalan ke bagian belakang toilet. Kali ini saya bisa melihatnya dengan jelas. Dia berjongkok lalu menyenter sudut toilet, seperti sedang mencari sesuatu dari situ. Jarinya menyentuh cat dinding yang terkelupas. Dia memperhatikan jarinya, kemudian mencoba menyentuh dinding lagi bagian yang lain. Cukup lama dia tes. Menyentuh dinding belakang toilet dari ujung ke ujung. Kemudian setelah itu kembali terlihat berpikir. Sangat lama sekali.

Sedang apa dia di sini? Antara penasaran tetapi juga ingin dia cepat-cepat pergi dari sini. Aku gak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai ketahuan.

Setelah itu, dia berdiri dan berjalan kembali ke depan toilet. Tapi langkahnya tidak berhenti, dia berjalan terus, lalu akhirnya tidak kelihatan lagi. Tetapi kami belum berani keluar hingga suara langkah kakinya benar-benar tidak terdengar lagi…

 

Setelah yakin tidak terdengar, kami berempat baru berani menghela napas. Rasanya dari tadi kami menahan napas.

“Wew, kenapa Pak Andre bisa muncul di sini?” tanya Ismail bingung.

“Iya. Apa dia juga lagi cari hantu? Haha” ucap Daniel.

“Gak mungkin. Perasaannya dia orang yang skeptis. Masih ingat hari pertama dia ngomong apa?” aku mengingatkan mereka kembali.

“Iya juga sih. Dia waktu itu ngomong, kita orang berpendidikan, masa percaya gituan. Lah, nih orang kenapa ikut-ikut menyelinap ke sini juga?” jawab Daniel lagi.

“Guys, tadi…” Felix kembali menyela. Walaupun gelap aku bisa melihat dia lumayan basah gara-gara berkeringat. “Tadi, saya melihatnya.”

Kami bertiga menatap Felix agak was-was. Karena kami rasa dia melihat apa yang tidak kami lihat.

“Saya melihat ada hantu wanita di belakang Pak Andre tadi…”

(Bersambung…)