Tengah malam Irene dikejutkan dengan suara dering handponenya. Dia meraih tombol lampu di samping tempat tidurnya. Saat dia melihat handponenya, dia melihat panggilan itu berasal dari nomor yang tidak dia kenal.

Irene: “Hallo?”

Pria: “Oh… Hallo! syukurlah! Di mana kau?”

Irene: “Di mana aku? Apa? Siapa ini?”

Pria: “Lupakan. Yang terpenting adalah kau masih hidup.”

Irene: “Maaf… Apa?”

Pria: “Kau masih hidup. Aku hampir putus asa karena mencari seseorang…”

Irene: “Apa kita saling kenal? Selamat malam, aneh.”

Irene menutup telponnya. Beberapa menit kemudian, handponenya berdering lagi

Irene: “Hallo?”

Pria: “Dengar, ini aku lagi. Demi Tuhan, jangan tutup telponnya! Aku… Aku ingin memperingatkanmu.”

Irene: “Apa kau tahu jam berapa ini? Mungkin aku harus panggil polisi dan melaporkanmu…”

Pria: “Polisi tidak akan bisa melakukan apapun. Sebenarnya tidak ada polisi manapun yang bisa dihubungi…”

Irene menutup telponnya. Tiba-tiba handponenya berdering kembali dan Irene mengangkatnya lagi

Irene: “Kau lagi?”

Pria: “Ya, ini aku.”

Irene: “Kau pasti tipe yang keras kepala, ya kan..?”

Pria: “Kumohon, kau harus mendengarkanku. Mungkin aku gila atau mabuk, tapi sebenarnya tidak. Aku hanya…. takut mati…”

Irene: “Apa yang kau takutkan?”

Pria: “Apa kau tinggal sendirian?”

Irene: “Apa?”

Pria: “Maksudku, apa kau sendirian di apartemen… sekarang… saat ini?”

Irene: “Selamat tinggal..”

Pria: “Jangan! Jangan tutup telponnya! Apa kau ingin mendengarku jika aku jelaskan? Kau janji ingin mendengarkanku?”

Irene: “Tidak.”

Pria: “Baiklah kalau begitu beritahu aku… apa televisimu menyala?”

Irene: “Kenapa kau ingin tahu?”

Pria: “Aku hanya ingin mengetahuinya, kumohon padamu!”

Irene: “Tidak, TV-ku sedang mati.”

Pria: “Apa komputer atau laptopmu menyala?”

Irene: “Aku tidak punya komputer.”

Pria: “Bagus. Awal yang bagus. Bagaimana dengan jendelamu? Apa jendelamu tertutup?”

Irene: “Ya. Jika rencanamu ingin merampokku, kau tidak akan mendapatkan keuntungan.”

Pria: “Baiklah… Itu bagus, tapi itu tidak menjamin akan keselamatanmu…”

Irene: “Jika kau tidak mengatakan sesuatu yang masuk akal, aku akan tutup telponnya dan pergi tidur.”

Pria: “Jangan tutup! aku akan jelaskan semuanya, aku janji. Beri aku kesempatan, apa kau ingin mendengarkan?”

Irene: “Selama aku bisa bertahan dari ucapan gilamu.”

Pria: “Terima kasih, Kau tahu, saat aku ingin pergi tidur kemarin malam, aku tidak tahu apa yang terjadi, sama sepertimu. Aku pulang kerumah dari pekerjaanku, memakan sarapanku, menonton TV dan kemudian aku pergi tidur. Aku selalu mematikan TV sebelum tidur. Dan aku selalu menutup jendelaku. Dan aku tidak punya komputer. Mungkin itulah aku masih selamat…”

Irene: “Lalu, apa yang membuatmu tidak selamat?”

Pria: “Segitiga.”

Irene: “Segitiga? Segitiga apa?”

Pria: “Segitiga merah.”

Irene: “Apa yang…? Apa yang kau bicarakan?”

Pria: “Itu yang ingin aku bicarakan padamu. Aku terbangun di tengah malam oleh suara teriakan. Suara itu dari kamar sebelah apartemenku. Jadi aku bangun dan pergi ke koridor. Tetanggaku terkadang suka mabuk dan terkadang dia membuat suara di malam hari. Aku ingin memberitahunya untuk diam dan pergi tidur. Dan saat itulah aku tersadar…”

Irene: “Apa?”

Pria: “Aku sadar teriakan itu bukan hanya dari tetanggaku, tetapi seluruh apartemen di gedung ini. Aku bisa mendengar suara yang lainnya. Suaranya seperti minyak yang dipanaskan… seperti tepung samolina yang sedang dimasak di atas panci… Dan juga suara seperti remukan seperti… krunch, krunch… Dan tangisan dan teriakan semakin keras dan lebih keras.”

Irene: “Langsung ke intinya.”

Pria: “Aku mengetuk pintu tetanggaku. Aku mengetuk dengan sangat keras, tetapi dia tidak mau membukanya. Kemudian aku melanjutkan ke tetangga sebelahnya, tetapi mereka tidak mau menjawab, tidak ada seorangpun yang menjawab. Kemudian, aku berjalan ke pintu terakhir di koridor. Pintunya telah terbuka.”

Irene: “Dan…?”

Pria: “Dan… itu membuatku takut bahkan untuk dipikirkan sekarang.”

Irene: “Apa yang kau lihat?”

Pria: “Segitiga.”

Irene: “Oh demi tuhan… Segitiga apa?”

Pria: “Segitiga merah. Mereka sangat besar… Hanya sebesar kepalan tanganku… tapi mereka sangat banyak… Mereka dimana-mana. Mereka berterbangan di sekitar apartemen, keluar begitu saja dari monitor komputer dan layar TV. Mereka melayang di udara di sekitar mayat…”

Irene: “Mayat?”

Pria: “Mereka terbaring di lantai. Mereka seorang pria dan wanita… dan anak mereka. Segitiga merah terbang di sekitar mereka seperti lalat, masuk melalui hidung mereka, mulut mereka, bahkan telinga mereka. Aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri. Orang-orang menggeliat merasakan kesakitan mereka, mencengkram leher mereka dan terpental maju dan mundur. Tubuh mereka gemetar dan tercekik dan sulit bernapas. Sangat mengerikan. Dan kemudian, tepat di depan mataku… semua yang di dalam keluar.”

Irene: “Yang didalam keluar?”

Pria: “Itu adalah pemandangan paling menjijikan, seperti kau melepas sarung tanganmu yang basah… dan tiba-tiba, semua yang didalam keluar. Tubuh mereka masih bergerak, tetapi mereka hanya tinggal berupa kunyahan daging besar… berdarah, ceceran daging… dan organ mereka berada di luar tubuh mereka… paru-paru mereka masih bergerak dan berdenyut… jantung mereka masih berdetak… darah masih mengalir di urat mereka… tetapi berada di luar tubuh mereka… itu adalah hal paling menjijikan yang pernah aku lihat.”

Irene: “Apa maksud dari kebohonganmu yang bisa membuatku percaya?”

Pria: “Ini bukan kebohongan! Aku bersumpah! Jika kau tidak mempercayaiku, pergilah ke jendela dan lihat. Seharusnya ada miliaran dari mereka di luar sana, terbang di udara… Tidak, tunggu! Apa yang aku katakan? Jangan pergi ke jendela! Mereka akan melihatmu! Kembalilah! Apa kau di sana?”

Irene: “Aku masih di tempat tidur.”

Pria: “Bagus, sangat pintar. OK, apapun yang kau lakukan, jangan pergi ke jendela… atau ke TV. Jika kau melihat yang dilakukan segitiga itu pada orang-orang, itu akan membuatmu shock. Aku lari kembali ke kamarku dan mengunci pintu sebelum mereka menangkapku. Satu segitiga berhasil masuk ke kamarku sebelum aku menutup pintu. Itu lumayan besar dan berwarna merah darah, tapi untungnya itu hanya satu. Dia mencoba masuk kedalam hidungku, tetapi aku menangkapnya dengan tanganku dan aku membelahnya menjadi dua bagian. Tubuhnya terbuka dan darahnya menyembur keluar. Darahnya berwarna abu-abu… memang terdengar aneh bagimu… tapi aku tidak tahu apa ini…”

Irene: “Kau tahu, aku lelah mendengar omong kosong ini. Mungkin aku harus menelpon polisi. Mungkin mereka akan mengirimu ke rumah sakit jiwa yang bisa kau ceritakan ceritamu ke pasien lainnya…”

Pria: “Silahkan dan telpon mereka. Aku dengan senang hati. Mereka tidak akan menjawabnya! Aku sudah mencoba menghubungi mereka. Mereka semua mati! Semua orang di kota sudah mati. Kau dan aku mungkin yang tersisa! Lalu kenapa aku harus menelponmu? Kenapa aku harus berbicara denganmu… Kita tidak saling kenal? Karena, aku sudah menghubungi semua temanku! Tidak dari mereka ada yang menjawab panggilanku. Aku menelpon semua keluargaku. Tetap tidak ada jawaban! Aku menghubungi semua nomor di handponeku! Dan tidak ada yang menjawabnya! Kemudian aku mulai menelpon nomor acak dan tiba-tiba aku menemukanmu.”

Irene: “Lalu, apa mereka…. segitiga itu?”

Pria: “Mana aku tahu? Kau sudah mendengar ceritaku. Dan sekarang kau tahu semuanya yang aku tahu. Mungkin mereka dari galaksi lain… atau dari dimensi lain. Aku sudah beritahu kau mereka datang dari layar komputer dan TV. Kau tahu, itu mengingatkanku akan sesuatu? Ada sebuah acara pengetahuan di TV saat aku kecil… mungkin kau melihatnya juga… kau tahu yang salah satu… dimana alien jahat muncul keluar dari layar TV… aku pikir itu disebut “The Things from Dimension X”… atau yang lainnya yang lebih mirip… itu sangat keren… jika kau menyukai acara itu… aku termasuk… atau bisa dibilang begitu, aku merasa… tapi aku masih…”

Irene: “Ya, aku yakin itu. Ok, sebagai orang yang waras harus pergi bekerja di pagi harinya, jadi jika tidak keberatan… berhentilah menelponku… selamat tinggal.”

Pria: “Tidak! Kumohon! Kau sudah janji! Kau sudah janji untuk tidak menutup telponnya! Aku tidak mau sendirian! Kita adalah yang tersisa! Kau dan aku! Kumohon…”

Irene menutup telponnya dan membuat handponenya menjadi silent. Dengan helaan napas, dia bangkit dari tempat tidurnya. Menarik tirainya, dan dia melihat keluar jendela dan sejenak terdiam, tidak bisa berpikir banyak. Hampir pagi. tapi masih gelap diluar

Dia mendengar. Tidak ada siapapun di jalan. Tidak ada hewan yang bersuara. Sangat hening… terlalu hening. Seluruh apartemen juga sangat hening. Dari semua apartemen, semua yang bisa dia dengar hanyalah keheningan

Kemudian, dia melihat ke atas. Di langit dipenuhi dengan ratusan… miliaran… bahkan triliunan dari benda merah kecil. Mereka melayang maju dan mundur, melayang dan berputar di atas seluruh langit kota, menyebar dalam bentuk kumpulan diantara awan dan kemudian kembali ke formasi semula

Segitiga… Segitiga merah… membawa kematian

Irene merasa shock dan dengan cepat menutup tirainya. Dia mengambl handponenya dan meringkuk di bawah lantai. Dia menelpon nomor pertama dari daftar kontaknya. Tidak ada jawaban. Dia menelpon nomor selanjutnya dan nomor selanjutnya, tetapi tida ada yang menjawab. Dia mulai gemetar ketakutan. Dia tetap menelpon semua nomor, Tetapi itu hanya suara dering dan terus berdering dan panggilan tidak pernah terjawab

Tiba-tiba seseorang menjawab dan Irene tertawa karena senang

Natalie: “Hallo?”

Irene: “Hallo! Natalie! Ya tuhan, aku senang kau menjawab! Ini aku, Irene!”

Natalie: “Apa kau sudah lihat jamnya? Kau tahu jam berapa ini?”

Irene: “Ya. Aku tahu. Aku minta maaf. Aku menelponmu.”

Natalie: “Ada apa? Kau baik-baik saja?”

Irene: “Apa kau sudah lihat segitiga?”

Natalie: “Segitiga apa?”

Irene:Segitiga Merah

 

Penulis: Wien