Siapa sih, yang tidak kenal dengan kawasan Sudirman? Gedung-gedung sepanjang Jalan Sudirman seakan berlomba untuk jadi yang paling megah, unik dan bergengsi. Namun di balik itu semua, tersimpan cerita-cerita yang cukup bisa membuat bulu kuduk berdiri. Seperti yang saya alami beberapa kali.

Pertengahan tahun 2000an, saya bekerja pada sebuah perusahaan media yang kantornya berada lantai 19 dan 20 di salah satu komplek perkantoran di kawasan Sudirman. Komplek perkantoran ini termasuk yang pertama menerapkan konsep hunian terpadu.

Ada gedung perkantoran, pusat perbelanjaan dan huniannya. Jadi, kalau lagi perlu belanja yang penting seperti cemilan (ini termasuk hal penting di daftar saya) nggak perlu jauh-jauh. Ibaratnya, cuma tinggal lari saja ke basement. Ok, saya kira cukup ya, cerita soal latar belakang gedung ini.

Singkat cerita, malam itu saya tengah mempersiapkan materi untuk sebuah acara. Belum terlalu malam sebenarnya, baru sekitar pukul 19. Saya tengah fokus mengetik di depan komputer saat mendengar telepon di meja resepsionis berbunyi.

Satu kali …

Dua kali …

Tiga kali …

Sampai lebih dari 5 kali telepon berdering tidak ada yang mengangkat. Kubikel saya berjarak sekitar 1,5 meter dari meja resepsionis, hanya dipisahkan oleh seruas gangway. Saya tinggal berdiri untuk bisa melongok ke meja resepsionis. Dan, saat saya berdiri memang tidak ada orang di sana.

Baru saja saya menaruh bokong di kursi, telepon di meja resepsionis kembali berbunyi. Tapi, kali ini berbeda.

‘Klik…’ (bunyi speaker phone diaktifkan)

‘Nuuuuuut…’ (tone nada sambung)

‘Tat, Tit, Tat, Tot'(bunyi tombol nomor ditekan 4 digit)

‘Nuuuuuut…’ (nada sambung kembali)

‘Tat, Tit, Tat, Tot, Tit, Tot, Tat, Tit, Tat, Tot, Tit, Tot’ (bunyi tombol nomor ditekan 12 digit)

‘Tuuuuuut, tuuuuuut…’ (nada telepon tersambung)

“Halo… halo…”

Sebelum semakin bingung, saya jelasin dulu, ya. Di kantor ini, masing-masing pegawai diberi nomor PIN 4 digit untuk bisa menelpon keluar. Artinya, sebelum memutar nomor yang diinginkan, kita harus terlebih dahulu memasukan PIN baru bisa mendapat sambungan telepon keluar.

Jadi penjelasannya adalah begini:

  • Seseorang mengaktifkan pelantang telepon sehingga terdengar nada sambung.
  • Seseorang memasukan 4 digit nomor PIN sehingga kembali terdengar nada sambung untuk telepon keluar.
  • Seseorang menekan 12 digit nomor telepon (HP) dan terdengar nada telepon tersambung ke nomor yang dituju.
  • Seseorang menerima telepon di ujung sambungan.

Paham sekarang? Oke, kita lanjutkan.

Kening saya berkerut mendengar yang baru saja terjadi di meja resepsionis. Tidak lebih dari lima detik sebelumnya, saya melihat tidak ada seorang pun di sana. Tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu ada yang datang, kecuali tadi bersembunyi di bawah meja.

“Halo… halo…” Suara di pelantang telepon masih terdengar.

Saya mengenali itu adalah suara teman saya, Anetta, yang besok akan membawakan program yang sedang saya garap. Segera saya sambar gagang telepon dan mematikan pelantang telepon

“Anet, nih gue, Tiara,” kataku.

“Eh, ada apa? Gue halo-halo dari tadi nggak ada suara,” tanya Anetta.

“Mmm… tadi, elu yang telepon ke sini atau ada yang telepon dari kantor?” Saya balik bertanya.

“Ada yang telepon dari kantor. Emang ada apa, sih?” Anetta penasaran.

“Udah, besok aja gue jelasinnya, ya.” Saya segera memutuskan sambungan telepon dengan Anetta.

Saya mengembalikan gagang telepon sambil tertegun. Meja resepsionis tetap kosong. Siapa yang barusan menelpon Anetta?

***

Setelah beberapa lama bekerja, saya mulai mendengar cerita-cerita aneh di kantor ini. Seperti telepon dari resepsionis yang memberi tahu bahwa ada tamu, namun saat didatangi ke meja resepsionis ternyata tidak ada yang menelpon. Atau, pesan-pesan aneh melalui ethernet yang saat dikonfirmasi atau ditanyakan ke si pengirim ternyata tidak pernah membuat atau mengirim pesan yang dimaksud.

Beberapa teman kerja mendengar suara-suara aneh yang tidak ditemukan sumbernya. Ada pula yang mendengar namanya dipanggil namun saat dicari ternyata tidak ada orang. Apa yang saya alami berbeda lagi.

Malam itu saya pulang lebih lambat dari biasanya, hampir jam 23. Berdua dengan teman saya, kami turun ke lantai dasar menggunakan lift ekspres. Lift ini hanya melayani lantai 19 dan seterusnya. Jadi, lift hanya terbuka di lantai dasar, 19, 20, dan seterusnya. Di dalam lift, kami berdua asyik ngobrol sampai hampir tidak sadar kalau lift sudah berhenti.

Pintu lift terbuka, kami pun mengira sudah sampai di lantai dasar. Daaaan… kami salah besar.
Di hadapan kami adalah ruangan gelap dan kosong. Tidak 100% gelap memang karena masih ada cahaya dari dalam lift, namun hanya itu cahaya yang ada. Kami melihat beberapa standing banner yang mempromosikan tempat makan di food court lantai 4.

Whaat…?! Ini tidak mungkin! Lift ini tidak bisa terbuka di lantai 4. Orang-orang biasanya menggunakan lift di deretan seberang jika mau ke lantai 4. Ini benar-benar mustahil!

Teman saya pun menyadari keanehan ini, tapi dia masih punya nyali menjulurkan kepalanya keluar lift untuk melihat-lihat. Saya yang masih shock cuma bisa gemetar ketakutan menyaksikan kenekatannya.

Untung otak saya cepat recover berpikir normal lagi. Buru-buru saya menekan tombol close agar pintu lift cepat tertutup. Saya tarik kerah baju teman saya. “Udah, cepetan masuk. Nggak usah macem-macem!” Lebih mirip perintah ketimbang permintaan. Teman saya mengikuti kemauan saya.

Pintu lift kembali menutup, dan lift meluncur lagi.

Pintu lift terbuka. Lantai dasar… tapi kami masih trauma dengan kejadian barusan sehingga tidak berani langsung keluar walaupun di luar cukup terang. Kami melongok keluar lift untuk memastikan.

Alhamdulillah… Benar lantai dasar karena kami bisa melihat pintu kaca khas gedung ini dan petugas keamanan yang biasa berjaga di dekat pintu masuk. Kami pun melangkah keluar lift sambil menatap deretan lift di depan kami. Bagaimana caranya kami tadi bisa ‘menyeberang’?

Penulis: Tyra