Selesai kuliah, saya diterima bekerja di sebuah radio yang berlokasi di jalan Jenderal Sudirman. Studio dan kantornya berada di bangunan berlantai 18 yang termasuk salah satu gedung pertama yang di jalan protokol ini.

Dahulu, gedung perkantoran ini terbilang bergengsi. Perusahaan-perusahaan besar berebut menempatkan kantornya di sini. Seiring waktu berjalan, ditambah pembangunan gedung-gedung lain yang tentunya jauh lebih modern, gedung tua ini mulai kehilangan daya magnetnya. Namun saya masih sempat menikmati jaman kejayaannya walaupun hanya beberapa tahun.

Setelah melalui masa probation 3 bulan, saya resmi diterima bekerja sebagai penyiar. Tentunya saya tidak langsung mendapat slot prime time. Jatah penyiar baru biasanya di jam-jam sepi pendengar, seperti jam 2 siang sampai 5 sore, atau setelah jam 9 malam. Untungnya karena saya perempuan, manajemen lebih banyak menaruh saya di siang hari. Hanya seminggu sekali, saya mendapat jatah siaran malam yaitu hari Jumat.

Semua penyiar yang selesai tugas malam, antara jam 21.00 – 24.00, mendapat fasilitas antar dari perusahaan. Jadi selepas jam kantor, biasanya di studio ada penyiar, petugas keamanan dan supir. Seperti halnya malam ini, ketika saya mendapat giliran siaran malam jam 21 – 24.

Selesai siaran jam 12 malam, saya bersiap-siap pulang. Supir sudah duluan ke bawah untuk menyiapkan mobil, sementara petugas sekuriti sudah tertidur, jadi terpaksa saya turun sendirian dari lantai 18 menggunakan lift. Saya sih, berani-berani aja karena selama ini tidak pernah ada yang aneh-aneh.

Oh ya, setelah pukul 19, biasanya pintu depan atau pintu masuk utama pintu gedung ini akan dikunci. Satu-satunya pintu yang masih dibuka terletak di samping belakang gedung. Pintu ini menjadi akses tunggal keluar masuk gedung saat malam hari.

Setelah masuk ke dalam lift, saya menekan tombol G untuk membawa saya ke lantai dasar lalu berdiri di depan panel tombol. Di lantai 10, pintu lift terbuka. Sesuatu yang di luar dugaan saya karena jam segini biasanya lift turun tanpa berhenti sampai ke lantai dasar.

“Mungkin ada yang lagi lembur,” dalam hati saya.

Seorang perempuan muda berbaju merah melangkah masuk ke dalam lift. Dari pantulan di dinding lift, saya melihat dia mengambil posisi berdiri di pojok kiri belakang. Tidak ada yang aneh dengan tampilan cewek ini. Pakaiannya, pakaian kantoran biasa, hanya warnanya saja yang merah terang. Di bahu kanannya, menggantung tas coklat besar, sementara tangan kirinya menggendong tumpukan berkas. Khas penampilan pekerja wanita. Saya pun bisa menarik nafas lega. Alhamdulillah, nggak sendirian di lift.

Di lantai 5, pintu lift kembali terbuka. Kali ini seorang petugas sekuriti masuk. Dia mengangguk dan tersenyum kecil ke arah saya. Saya pun membalas anggukan dan senyumannya. Lalu, dia berdiri di seberang kiri saya, atau sekitar 2 meter di depan perempuan berbaju merah tadi.

Sesampainya di lantai dasar, pintu lift terbuka. Saya melangkah keluar, diikuti oleh si petugas keamanan dan …

Eh, kemana si mbak baju merah? Koq nggak ada di belakang? “Nggak mungkin dia nggak barengan sama kita. Pintu keluar gedung kan, cuma ada satu.” Irama jantung saya mulai tidak beraturan.

Tapi benar, di belakang saya tidak ada siapa-siapa lagi, kecuali si bapak petugas tadi.

“Ada apa, mbak?” Tanya si bapak melihat saya celingak-celinguk.

“Eeemmm … Nggak apa-apa … Eh, anu pak … Mbak-mbak yang baju merah tadi kemana, ya?” Saya menjawab.

“Mbak-mbak baju merah yang mana?”

Duh, si bapak malahan balik tanya.

“Itu lho, yang tadi barengan sama kita di lift. Kan, waktu bapak naik di lantai 5, ada saya sama satu mbak-mbak pakai baju merah. Dia berdiri di pojok belakang. Persis di belakang bapak. Masa bapak nggak lihat?” Saya sedikit ngotot.

“Lho, mbak. Tadi di lift itu cuma ada mbak aja, nggak ada siapa-siapa lagi.”

Penjelasan petugas keamanan membuat saya nyaris pingsan karena shock. Otak saya segera mereview peristiwa barusan. Satu per satu kejadian terangkai bak film tengah berputar di benak saya.

Lantai 18 …

Lantai 10 …

Lantai 5 …

Dan saya teringat sesuatu …

Saat si bapak petugas keamanan masuk lift di lantai 5, dia mengangguk dan tersenyum ke arah saya, tapi tidak ke arah pojok belakang. Tidak mengangguk atau tersenyum ke arah ‘orang’ yang ada di pojok belakang. Bukan karena tidak mau menyapa ‘orang’ yang ada pojok belakang, tapi karena dia tidak melihat orang tersebut.

Seluruh bulu halus di tubuh saya langsung berdiri meremang.

Penulis: Tyra