Saya punya satu-satunya teman yang bernama Filo. Secara fisik dia sangat kurus sekali. Ini gara-gara penyakit yang lama dideritanya. Secara penampilan dia pun terlihat kacak kadut.

Dia tidak pernah sekolah, tetapi dia sangat pintar. Walaupun saya sekarang sudah SMA, namun dia terkadang tahu lebih banyak hal dibanding saya, padahal dia mengaku pendidikan terakhirnya adalah saat SMP kelas dua. Saya akui dia sangat pintar, tetapi di sisi lain, saya melihat dia sangat eksentrik, jika tidak bisa disebut psikopat.

Dia suka membedah binatang-binatang untuk mengamati organnya. Terkadang mencoba memotong bagian-bagian binatang untuk melihat mereka bisa bertahan hidup berapa lama. Belakangan ini saya melihat dia suka memenggal kepala tikus. Saya tidak tahu bagaimana dia menangkap tikus-tikus itu. Tapi yang pasti di rumahnya banyak sekali tikus-tikus got yang biasa kita sering jumpai.

“Terkadang binatang itu masih bertahan hidup beberapa saat setelah kepalanya dipenggal. Itu bisa dilihat dari gerakan mata atau wajahnya.”

Saya mengangguk mendengarkan penjelasannya sambil membaca buku. Saya hobi baca buku, itu sebabnya saya sering datang ke rumahnya. Rumahnya hanya tinggal dia seorang. Tidak punya saudara ataupun orang tua, hidupnya sebatang kara.

Tetapi rumah dari warisan dari orang tuanya ditambah uang yang diinvestasikan, membuat dia masih tetap bisa bertahan.

“Dan belakangan ini saya lebih fokus ke manusia,” ujarnya sambil tersenyum.

“Maksudnya?” saya meletakkan buku saya.

“Menurutmu, apakah manusia masih sadar ketika kepalanya lepas dari badannya?”

“Saya rasa dia seketika akan mati… Bukan begitukah?” tanya saya ragu.

Filo semenjak SMP kelas dua sudah tidak pernah ke sekolah lagi. Penyakitnya membuat dia sensitif terhadap cahaya matahari. Itu sebabnya dia selalu di rumah. Dan itu juga mengapa dia tidak punya teman. Saya rasa, saya satu-satunya teman yang dia miliki. Dan saya rasa gara-gara sendirian terlalu lama, itu yang membuat dia eksentrik. Atau agak psycho.

“Tidak. Kamu tahu abad 18an hukuman pancung adalah hukuman yang paling umum. Mereka menggunakan guillotine untuk memenggal secara cepat dan akurat. Dan berdasarkan beberapa catatan ada yang sangat menarik.”

“Menarik bagaimana?”

“Misalnya ini,” ujar Filo sambil menunjukkan saya sebuah halaman  yang sudah menguning menunjukkan perempuan digiring ke guillotine, “Charlotte Corday, pembunuh jurnalis radikal Jean-Paul Marat.”

“Massa begitu marah, karena Jean-Paul Marat, begitu dipuja masyarakat. Bahkan begitu dipenggal, sang algojo mengangkat kepala wanita dan menamparnya. Menurut saksi mata, bola mata Charlotte mengarah ke algojo dan raut wajahnya berubah menjadi terlihat marah.”

“Waah..”

“Lalu ada cerita lain mengenai dokter Perancis, Dr. Gabriel Beaurieux. Tahun 1905 dia melakukan eksperimen ke seorang narapidana. Tepat setelah dipenggal, sang dokter memanggil nama narapidana tersebut, matanya terbuka.”

“Mengerikan sekali, kalau ternyata manusia masih sadar ketika kepalanya sudah copot dari badannya…” ujar saya merinding membayangkan rasa sakitnya.

“Dan ini membuat saya penasaran setengah mati sudah lama. Apa yang dirasakan orang tersebut di ambang kematian. Apakah dia melihat malaikat? Apakah dia merasa sakit?”

“Saya rasa kita tidak akan pernah tahu haha…”

“Tidak masalah. Saya yang akan mencobanya.”

“Mencoba gimana?” tanya saya bingung.

“Saya akan memenggal diri saya sendiri. Kamu cobalah bertanya pertanyaan ke saya.”

“Jangan gila! Kamu ingin mati?” tanya saya. Saya tahu Filo sedang serius. Sudah saya bilang, dia eksentrik.

“Ini kesempatan terakhir saya.”

“Kamu bisa baca buku saja, googling di Internet, atau lainnya. Buat apa bunuh diri, hanya sekedar pengen tahu? Dosa itu.. Dosa!!”

“Frans. Sejujurnya hidupku tidak akan lama lagi. Penyakit yang diderita saya semakin hari sudah semakin parah. Dokter memvonis kemungkinan saya bisa melewati tahun depan, sudah sangat minim.”

Saya sebenarnya tidak ingin mengungkitnya, tetapi saya memang bisa melihat badan Filo yang semakin hari semakin kurus. Sudah seperti tulang berbalut kulit saja. Kita berdua sudah tahu dari awal. Hidupnya tidak akan lama.

“Jangan bodoh Filo.. Kamu harusnya memanfaatkan sisa hidup untuk hal lebih berarti…”

“Bantulah aku. Sebetulnya saya sudah membuat guillotine ku sendiri.”

Dia mengajak saya ke kamarnya. Dan di sana memang sudah ada sebuah guillotin mini yang dirancangnya sendiri. Bulu kudukku berdiri.

“Guillotine ini sudah saya uji dan mampu memotong kayu secara cepat. Leherku yang tidak berdaging ini, pasti akan jauh lebih mudah.” jelas Filo.

“Hentikan…”

“Jadi saat saya sudah dipenggal kamu tanya pertanyaan ya atau tidak. Saya akan jawab dengan kedipan. Satu kedipan tandanya ‘ya’, dua kedipan berarti ‘tidak’.”

“Sudah cukup dengan kegilaan ini,” saya berpaling dan berjalan keluar kamar. Saya ingin segera pulang. Saya tidak kuat melihat ini.

“Tolonglah permintaan terakhir orang sekarat ini.”

Saya terdiam. Saya tidak menoleh.

“Walaupun kamu berjalan pulang, saya tetap akan bunuh diri. Tetapi saya akan mati sendirian. Demi temanmu yang akan mati ini, mohon penuhi permintaannya yang paling terakhir….” ujar Filo menangis.

Ini betul-betul gila. Saya berjalan keluar, dan sedetik kemudian,

ZAAAAM!!

Reflek saya menoleh ke belakang. Kepala Filo sudah jatuh ke lantai. Darah merah membasahi lantai. Saya meneriaki namanya. Tetapi saya tahu itu percuma. Dia tidak mungkin hidup, saya berlari dan melihatnya.

Kacau bingung, apa yang harus saya lakukan? Di tengah kekacauan, saya melihat bola matanya bergerak ke arahku. Mata kami saling bertumbukan…

Dia masih hidup, gumamku dalam hati.

“Kamu masih sadar?” tanyaku, ragu.

Satu kedipan.

“Ya ampun. Apakah kamu merasa sakit?” tanyaku menahan tangis. Perasaan saya kacau sekali.

Dua kedipan.

Saya bingung mau bertanya apa lagi. Tetapi sesuai keinginannya saya pun bertanya pertanyaan dia lagi.

“Apakah kamu melihat malaikat?”

Dua kedipan.

“Ada melihat cahaya putih?”

Kembali dua kedipan.

“A..apa kamu merasa takut?”

Dua kedipan.

Saya bingung ingin bertanya apa lagi. Saya tidak siap. Dan disaat itu saya melihat Filo kedip lagi, kali ini tiga kali. Saya tidak mengerti. Setelah itu, matanya tidak terbuka lagi. Saya memanggil namanya beberapa kali, tetapi tidak ada respon.

Saya berlari keluar, mencari bantuan.

Akhirnya Filo dimakamkan secara sederhana. Saya mengalami trauma mendalam dan sering mengalami mimpi buruk. Belakangan mengikuti terapi dari psikiater. Saya menjadi percaya, manusia memang masih sadar setelah dipenggal. Selama 20an detik malah. Tetapi satu hal yang masih membuat saya penasaran. Apa arti tiga kedipan terakhir dari dia?