Malam hari saat itu. Aku melihat jam, pukul 22.30. Sudah lama mereka meninggalkanku sendirian dirumah. Entah jam berapa mereka pulang. Ini sudah dari dulu. Orang tuaku sering meninggalkanku sendiri di rumah. Mereka tidak peduli apa yang aku rasakan. Aku merasa takut, sedih, kesal bercampur aduk menjadi aneh.

Tadi sore mereka pergi. Sekitar pukul 17:30. Mereka menyuruhku menunggu. Aku mendengus dalam hati. Kenapa mereka tidak mengajakku?

Lelah memikirkan semua ini, aku memutuskan beranjak dari sofa yang aku duduki. Kudengar suara guntur dan cacing cacing didalam perutku yang meminta makan. Aku mengambil sebungkus mie rebus dan mengambil panci. Ku isi air dan memasukan mie yang kupegang. Setelah menunggu agak lama, akhirnya mieku matang. Aku kembali kesofa sambil membawa mangkuk panas isi mie rebus buatanku. Aku mengganti channel tv. Setelah selesai makan, aku menaruh mangkuk dimeja tamu. Sudah jam 23.30. Kapan mereka pulang. Aku menghela napas.

Kriingg… Suara telfon rumahku berbunyi. Aku berjalan gontai menuju telfon yang berada dipojok dinding. Kulihat nomor yang tak asing bagiku. Tertera pada atas layar telfon, ‘Mama’. Akhirnya, setelah lama menunggu, mama menelfonku. Aku cemas dan ragu mengangkat telfon. Aku takut mereka mengatakan akan pulang besok atau lebih. Dengan detak jantung tak beraturan, aku membuka percakapan.

Aku: Halo, mama…

Mama: (Suara yang berat dan menghela napas) Halo, Nay! Mama mau mengatakan maaf atas perilaku mama selama ini. Mama sengaja meninggalkanmu dirumah karena mama tak ingin terjadi sesuatu padamu. Biar papa yang jelaskan lebih detail.

Papa: Halo, Nay. Dahulu, saat papa dan mama menikah, papa tidak sengaja menemukan sebuah kotak kado yang dibungkus rapi. Kami berdua (Papa dan Mama) membuka kotak itu pelan pelan. Hanya ada kertas yang dilipat rapi bewarna putih polos. Kami membuka lipatan kertas itu dan melihat tulisan bewarna merah seperti darah. Kami membaca tulisan itu bersama sama. Seperti ini tulisannya,

“Hai bagi siapapun yang membaca surat ini! Maafkan aku yang mungkin bersalah kepadamu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Hanya ini satu satunya jalan keluar dari masalahku. Sebenarnya, aku terkena kutukan yang cukup menyeramkan. Kutukan ini akan hilang dengan sendirinya bila aku bisa membagikan kutukan itu. Kutukannya adalah, siapapun yang telah membaca tulisan ini, maka saat dia sudah punya anak, mereka akan kecelakaan fatal. Bila tidak mau anak kalian mati, tinggalkanlah anak kalian dirumah. Kalian tidak bisa menghindari kutukan ini. Bila ingin terbebas, lakukanlah hal sepertiku. Buat surat atau pesan melalui handphone dan kirimkan atau bila surat, kalian taru dipinggir jalan. Semakin banyak yang membaca tulisan kalian, semakin memudar juga kutukan kalian. Sekali lagi, mohon maafkan aku… ”

Mama: Kami tidak percaya dengan hal hal mitos atau kutukan seperti itu. Sehingga kami tidak pernah membuat surat atau pesan yang bisa menghilangkan kutukan ini. Tapi, kami cukup merasa menyesal karena kami tidak melakukan hal itu. Kami merasa aneh dan selalu melihat pria berjubah hitam dan membawa garpu cala. Pria itu mirip dengan malaikat pencabut nyawa. Kami memutuskan selalu meninggalkanmu di rumah saat kami akan bepergian. Maafkan kami, Nay.

Papa: Maafkan kami Nay. Mungkin kami juga merasa bersalah atas sesuatu yang telah kami bagikan kepadamu. Dan saat ini, ajal kami menjemput. Mohon maafkan kami. Tut… Tut… Tut…

Tidak terasa air mataku mengalir. Ternyata mereka baik kepadaku. Atau mungkin jahat kepadaku. Setelah menaruh gagang telpon di tempatnya, aku kembali kesofa sambil menangis. Aku melihat ke pojok dinding dan pria berjubah hitam, membawa garpu cala berdiri di sana.

Penulis: Regina