Saya asal Sukabumi dan akan kuliah di Bandung. Orangtua terlibat secara langsung mencarikan kost selama saya akan menjalani perkuliahan di kota tersebut karena khawatir saya tidak bisa menahan diri dari pergaulan bebas khas kota besar.

Masa orientasi akan dimulai membuat kami buru-buru memutuskan indekost tanpa mencari kost mana yang cocok, akhirnya diputuskan untuk indekost di sebuah rumah di pojok blok paling belakang kompleks pemukiman yang sudah puluhan tahun berdiri tepat di belakang kampusku jalan Suci Bandung.

Sebuah rumah tua kecil dengan 5 buah kamar tidur. Tiga kamar tidur terdepan disewakan, dua lainnya sebagai kamar tidur bapak pemilik kost dan satunya kamar tidur putra tertua yang sakit jiwa karena dicerai istri. Bapak kost adalah duda tua, istrinya terlebih dulu menghadap Illahi.

Awal-awal tinggal di kost saya merasa nyaman karena serasa di rumah sendiri karena dua kamar lain yang disewakan belum tersewa. Tapi beberapa hari kemudian saya baru menyadari keberadaan benda-benda aneh yang disimpan di kolong meja ruang keluarga yaitu sebuah nampan beras berisi buah kelapa yang atasnya berlubang diisi beberapa dupa lidi dan kemenyan, sisa abu pembakarannya bertebaran di atas nampan.

Ternyata bapak kost adalah seorang dukun. Selain perlengkapan khas perdukunan, banyak “pasien” yang minta pertolongan seperti kesuburan pasutri, mencari kendaraan hilang, penglaris dagangan di pasar, dan sebagainya. Tidak tiap hari ada pasien tapi ada saja yang datang. Hingga pas suatu hari kedatangan pasien yang minta dicarikan mobilnya yang hilang, ada percakapan terdengar yang membuat saya merinding.

Bapak kost bilang kalau dirinya memelihara 2 “orang” jin Baghdad di langit-langit rumah dan kebetulan atap kamar saya ada celah karena gigitan tikus di langit-langit kamar. Malamnya saya tidak bisa tidur ketakutan cerita bapak kost. Sambil mencoba untuk tidur, saya perhatikan celah langit-langit yang berlubang sebesar bola tenis tepat di atas kasur.

Hanya gelap yang terlihat dan terdengar suara gigitan demi gigitan tikus menggerogoti pinggiran kayu. Dari posisi terlentang menjadi duduk sila karena saya heran lama-lama suara gigitan berubah jadi seperti ujung kuku tangan yang digesek-gesekkan ke langit-langit dan akhirnya terlihat bayangan hitam besar mencoba mengintip ke bawah dan brakkk lubang atap semakin membesar karena dipukul keras dari dalam langit-langit hingga potongan atap berjatuhan ke atas kasur.

Sosok hitam besar itu semakin jelas terlihat dan saya collapse. Terbangun dari collapse jam 2 pagi, saya ucapkan ayat-ayat suci sambil terus lihat ke atap langit-langit gelap yang melebar menjadi seukuran dua buah bola basket. Tiba-tiba di bawah celah pintu terlihat bayangan kaki manusia berhenti tepat didepan pintu kamar. Sayup-sayup terdengar kejauhan suara lagu jaipongan dari radio.

Bayangan kaki di celah pintu itu terlihat berjoget-joget jaipongan mengikuti irama ketukan musik jaipongan dari radio yang letaknya jauh itu sambil sesekali membuka tutup gorden ruang tamu mengikuti irama jaipong tersebut. Karena berisik, antara memberanikan diri dan ketakutan setengah mati, saya intip dari ventilasi atas pintu.

Ternyata, sosok bayangan itu adalah putra bapak kost yang sakit jiwa berjoget jaipongan di ruang tamu sambil memainkan buka tutup gorden. Jam menunjukan pukul 02.13 pagi. Sampai jam 04.30 saya hanya bisa ketakutan sambil baca doa tanpa henti. Hari demi hari, malam demi malam ngekost akhirnya saya lalui dengan terbiasa di atas jam 9 malam dengan “show” dari jin-jin Baghdad di atap dan mulai pukul 2 pagi, jaipongan dari seorang yang sakit jiwa di ruang tamu.

Saya bertahan kost selama 11 bulan. Tahun 2001 bulan Agustus saya masuk, tahun 2002 bulan Juli, saya pindah indekost dan ternyata kost baru pun ada “penghuni” nya… huffftttt..

Penulis: Gilang