Kini, sudah lebih dari dua puluh tahun semenjak pertama kali Agbenyaga mencoba trik kabut hitam untuk menjebak calon korbannya. Rahasianya masih tetap aman karena Agbenyaga membuat korban-korbannya seolah mengalami kecelakaan atau perampokan.

Ada juga yang seperti dimakan oleh hewan liar. Korban biasanya ditemukan beberapa jam setelah kematian sehingga wajar jika dianggap meninggal akibat kehabisan darah.

Ada kalanya Agbenyaga beruntung, mendapat lebih dari satu korban. Seperti saat sebuah mobil berisi satu keluarga yang terguling. Empat orang meninggal seketika, sementara seorang bayi masih hidup. Agbenyaga memilih seorang anak kecil dan seorang perempuan muda yang dia yakini adalah ibu dari si anak dan bayi. Usai merampungkan hasrat, Agbenyaga membawa si bayi ke rumahnya.

Namun, sedikit demi sedikit warga Hiamankyen mulai menaruh curiga karena sekarang semakin sering terjadi ‘kecelakaan’ di lokasi yang tidak terlalu berjauhan. Kondisi tubuh Agbenyaga yang sudah mulai renta tidak memungkinkan dia berjalan puluhan kilometer seperti saat dia masih berusia 40an.

Agbenyaga pernah berpikir untuk pindah ke tempat lain, namun desa mana yang kira-kira akan memberinya perlindungan seperti di Hiamankyen. Dia lahir di sini, begitu pula dengan leluhurnya. Setidaknya penduduk desa tidak akan pernah berani menuduhnya secara terang-terangan, apalagi sampai menggeruduk rumahnya. Jadi, yang paling penting sekarang adalah makin berhati-hati dan tetap sabar.

Beberapa hari lagi bulan mati akan tiba. Agbenyaga mulai menyiapkan segala keperluan untuk ritual rutinnya. Tangannya sibuk menumbuk ramuan, sementara matanya memandangi anak-anak yang baru pulang beribadah di hari Minggu sore. Agbenyaga bukan sedang menikmati keceriaan polos dan celoteh riang anak-anak tersebut, dia sedang mengawasi mereka.

Beberapa minggu yang lalu, seorang bocah berhasil menyelinap diam-diam dan melemparkan daun semanggi persis di depan pintu masuk. Akibatnya, Agbenyaga terjebak di dalam rumah, dan harus menunggu angin menerbangkan daun semanggi tersebut keluar dari halamannya. Dia beruntung malam itu hujan turun dengan deras sehingga menghanyutkan seluruh daun semanggi.

Agbenyaga menyimpan lekat wajah bocah itu dalam ingatannya. Suatu hari nanti, dia harus menerima balasan dari perbuatannya. Namun sekarang ada hal lain yang juga mengganggu pikiran Agbenyaga. Sesuatu yang lebih penting.

Siang tadi Agbenyaga memergoki seorang pria melongok-longok dari luar pintu pagar. Dari gerak geriknya, Agbenyaga yakin laki-laki asing itu tengah mengamat-amati rumahnya. Dia menunggu hingga pria itu tidak terlihat lagi di pintu pagar baru kemudian keluar dari rumah, dan berlari menuju pagar.

Agbenyaga membuka pintu pagar, lalu mengawasi sekelilingnya. Pria itu sudah tidak ada, seperti menghilang ditiup angin. Sambil menghela nafas kesal, Agbenyaga memutar badannya dan berniat kembali masuk ke pekarangan rumahnya.

“Permisi, nyonya. Selamat siang.” Sebuah suara bernada bass tiba-tiba muncul dari balik punggung Agbenyaga. Mau tidak mau Agbenyaga memutar badannya kembali.

Di hadapannya berdiri tegap seorang laki-lakil berusia sekitar 25 tahun. Wajahnya yang tampan sekilas mengingatkan Agbenyaga pada seseorang. Entah siapa.

Mata Agbenyaga memandangi pria tersebut dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia mengenakan topi boater jerami, kemeja dan celana panjang berwarna putih, dan sandal yang terbuat dari anyaman kulit. Sekilas penampilannya mirip dengan seorang guru… atau seorang misionaris?

“Ada keperluan apa, anak muda?” Tanya Agbenyaga ketus, tanpa basa-basi.

Pria itu tersenyum dan menjawab dengan sopan. “Saya hanya ingin bicara dengan nyonya.”

“Bicara dengan saya?! Kenapa anda berpikir saya akan tertarik dengan apa yang akan anda bicarakan? Maaf, saya sibuk!” Jawab Agbenyaga dengan nada pedas.

Sepertinya laki-laki muda itu tidak peduli dengan sikap kasar yang ditunjukkan Agbenyaga. Dia tetap tersenyum sopan. “Saya paham, nyonya. Maaf jika saya sudah mengganggu, tapi apa yang akan saya sampaikan tidak boleh sampai didengar orang banyak. Ijinkan saya masuk, kita bicara di dalam.”

Agbenyaga menengok sekelilingnya. Cukup banyak orang yang lalu lalang siang itu di bawah teriknya sinar matahari. Mata Agbenyaga kembali menatap pria di hadapannya penuh curiga.

“Tidak. Saya tidak akan mengijinkan anda masuk, walau cuma sampai halaman rumah. Jadi, apapun yang ingin anda katakan, katakan sekarang juga.” Nada bicara Agbenyaga tetap tinggi dan ketus sambil terus menatap tajam. Umumnya orang akan menunduk jika bertatapan mata dengan Agbenyaga, tapi tidak pria ini.

Dia tetap tenang membalas tatapan mata Agbenyaga. “Baik nyonya, saya tidak akan membuang waktu nyonya yang sangat berharga. Ini yang ingin saya katakan…”

Laki-laki itu menggerakkan telunjuknya, mengisyaratkan agar Agbenyaga mendekat. Agbenyaga paham bahwa apa yang akan dikatakan pria tersebut rupanya benar-benar tidak boleh didengar orang lain. Apalagi orang sudah mulai tertarik dengan kehadiran pria asing di depan rumah Agbenyaga.

“Anda jangan main-main dengan saya, anak muda. Awas!” Ujar Agbenyaga sambil mendekat pelan-pelan ke laki-laki misterius tersebut.

“Cepat katakan!” Perintah Agbenyaga.

Namun hingga sepuluh detik berlalu, tidak ada satu pun kata-kata yang keluar dari mulut pria itu.
Kekesalan Agbenyaga memuncak. “Baik. Cukup. Saya tidak akan meladeni anda lagi.”

Agbenyaga menoleh ke arah laki-laki tersebut. Dia terkejut. Mulut pria itu masih terbuka sangat lebar hingga anak tekaknya sampai terlihat sangat jelas. Agbenyaga bingung apa yang akan dikerjakan pria itu.

Perlahan, muncul suara dari dalam tenggorokan laki-laki tersebut. Suaranya sangat pelan dan rendah, mirip dengan geraman hewan buas. Agbenyaga seperti terhipnotis, malah mendengarkan dengan seksama walau instingnya memerintahkan dia untuk segera pergi.

Lama kelamaan suara itu berubah. Semakin jelas terdengar di kuping Agbenyaga. Mimik wajah Agbenyaga berubah seketika. “Apaaa…?!”

Agbenyaga yakin dia tidak salah mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut pria asing itu.
Suara itu begitu nyata, sampai-sampai tanpa sadar Agbenyaga menutupi wajahnya dengan tangan. Dia ketakutan, seolah ada motor atau mobil yang akan segera menabraknya.

Agbenyaga masih ingat betul kapan dan di mana dia mendengar suara itu. Ya, itu suara decitan ban di atas jalan aspal di tengah malam sepi lebih dari dua puluh tahun yang lalu.

Laki-laki itu mengatup mulutnya. Seketika itu suara menghilang dan keadaan kembali senyap.

“Hanya itu yang ingin saya katakan, nyonya. Selamat siang,” ujar pria asing tersebut sambil tersenyum datar. Wajahnya pun terlihat datar, tidak menunjukan emosi apapun. Dia memutar badannya dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Agbenyaga berdiri terpaku, seperti tersihir oleh suara dari masa lalunya dan tenggelam di dalamnya. Suara anak-anak yang menertawakan dan mengolok-oloknya menyentak Agbenyaga kembali dari lamunannya.

Mata Agbenyaga menatap garang anak-anak yang mengelilinginya. Satu persatu anak-anak itu kabur ketakutan. Ada yang satu yang berteriak, “Waktumu akan tiba sebentar lagi, orang jahat!”

Agbenyaga seperti tidak mendengar ucapan itu. Dia masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil ramuan dan menaburkan di sekeliling pagar. Dia merasa harus melindungi dirinya lebih kuat lagi. Bukan dari anak-anak kampung, tapi dari pria misterius tadi.

Semenjak kejadian itu, Agbenyaga semakin mengurung diri di dalam rumah. Dia tidak lagi bekerja di perkebunan cokelat, dan hanya keluar rumah jika benar-benar mendesak. Belanja keperluan dapur pun hanya dilakukan seminggu sekali.

Namun nanti malam dia harus keluar rumah. Waktunya hampir tiba bagi Agbenyaga untuk mencari korban baru. Kali ini dia sudah merencanakan untuk pergi sedikit jauh dari biasanya. Oleh karena itu, Agbenyaga pergi 2 hari lebih awal supaya bisa sampai di tujuan tepat waktu bulan mati.

Seperti biasa, Agbenyaga selalu pergi saat hari sudah gelap. Dia menuju ke Jalan Raya Binda – Kete Krachi dengan menerobos semak belukar dan pohon. Jalanan yang gelap bukan penghalang bagi Agbenyaga. Kemampuan melihat dalam gelap membantunya menemukan jalan yang biasanya hanya dilewati binatang liar.

Kreek…

Kuping Agbenyaga menangkap suara daun atau dahan kering yang terinjak sesuatu. Dia menyelinap di antara pohon dan semak untuk bersembunyi. Para pemburu mungkin saja tengah berkeliaran mencari tangkapan hewan malam. Dari tempat persembunyian, Agbenyaga mengawasi sekelilingnya.

Kosong. Tidak ada apa-apa. Hanya ranting dan dedaunan yang bergerak-gerak ditiup angin harmattan yang dingin.

Agbenyaga memutuskan untuk menunggu lagi sebentar, memastikan keadaan benar-benar aman. Setelah yakin tidak ada yang mengikutinya, Agbenyaga melanjutkan perjalanan.

Selama perjalanan, berulang kali Agbenyaga menoleh ke belakang. Dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa dia sedang diikuti. Namun, Agbenyaga tidak melihat siapa pun, kecuali pohon, semak dan angin. Binatang malam pun tidak terdengar suaranya.

Akhirnya Agbenyaga tiba di pinggir jalan raya. Dia menunggu bis yang akan membawanya ke desa Gbungbaliga. Agbenyaga mengawasi kendaraan yang datang dari arah Kete Krachi, namun sudut matanya menangkap sebuah benda mengkilat tidak jauh dari tempatnya berdiri. Agbenyaga berjalan mendekati benda tersebut, dan mengambilnya dari tanah.

Mata Agbenyaga terbelalak lebar, jantungnya berdegub dua kali lebih cepat. Benda kecil di tangannya terus diamati dengan seksama. Jari jemarinya mengepal, menggenggam benda itu erat-erat.

“Xetsa…” Bisik Agbenyaga lirih. Benar dugaannya, benda itu adalah jimat yang dulu dipakai Xetsa.

Tapi bagaimana jimat ini bisa sampai di sini? Bukankah saat dulu Xetsa dibakar oleh penduduk kampung dia masih mengenakannya di leher? Agbenyaga yakin sekali karena saat dia melihat jenazah Xetsa, jimat itu masih terpasang di lehernya.

Agbenyaga buru-buru membuang jimat itu jauh-jauh, dan langsung menggenggam jimatnya sendiri sambil merapalkan mantra yang akan melindunginya dari kekuatan jahat.

Bis yang ditunggu pun akhirnya datang. Agbenyaga naik dan duduk di kursi samping jendela. Sebelum bis melaju, Agbenyaga menoleh lagi ke tempat dia membuang jimat tadi. Dia kembali merasakan jantung yang berdegub kencang. Agbenyaga memejamkan mata untuk menenangkan diri dengan kembali membaca mantra. Agbenyaga tidak sempat melihat seseorang mengambil jimat itu dan menyimpannya di dalam kantung.

Sampai di tujuan, Agbenyaga mencari pondok yang biasanya digunakan oleh para pemburu untuk beristirahat. Dia berhasil menemukan satu yang kosong. Pondok itu terletak di antara Wulensi dan Gbungbaliga, hanya sekitar setengah jam berjalan kaki dari jalan raya.

Setelah menyembunyikan barang-barang bawaannya di dalam pondok, Agbenyaga berjalan menuju ke Jalan Raya Blinda – Kete Krachi. Dia harus terlebih dahulu mengamati situasi karena ini pertamanya kalinya dia memilih daerah ini.

Waktu yang ditunggu pun tiba. Menjelang tengah malam, Agbenyaga meninggalkan pondok pemburu, dan menyelinap di antara bayangan pohon dan semak. Dia harus tetap menghindari bertemu dengan manusia, terutama penduduk setempat karena dia adalah orang asing yang pasti akan memancing kecurigaan.

Selesai dengan ritual menyiapkan jebakan untuk calon korbannya, Agbenyaga menunggu di balik rumpun pohon pisang yang tumbuh rapat di pinggir jalan. Malam itu benar-benar sepi. Hanya sesekali terdengar suara gemerisik daun pisang yang tertiup angin atau terusik kalong yang tengah mencari buah yang matang.

Agbenyaga mendengar suara derungan mesin motor dari kejauhan. Dia mencangkung semakin erat. Suara itu kian mendekat. Agbenyaga bersiap-siap karena sebentar lagi motor itu pasti akan tiba di depannya.

Suara motor semakin jelas, diikuti oleh decitan ban yang nyaring, lalu disusul dengan bunyi benda jatuh berdebam dan gesekan logam di atas aspal. Agbenyaga keluar dari persembunyiannya untuk menuntaskan misinya.

Namun sesampainya di lokasi, Agbenyaga mendapati jalanan yang kosong. Dia tertegun, tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada motor yang terguling, tidak ada korban yang tergeletak. Hanya aspal dan kabut hitam pekat ciptaannya.

Seperti tidak mempercayai penglihatannya sendiri, Agbenyaga memeriksa lagi sekelilingnya.

Benar-benar kosong, tidak ada apa-apa. Ada apa ini?

Belum habis rasa penasaran Agbenyaga, telinganya menangkap lagi bunyi suara motor. Agbenyaga menyingkir dari jalan raya, dan kembali bersembunyi. Hal yang sama pun terulang. Agbenyaga segera mengawasi sekelilingnya, kalau-kalau ada orang yang sedang mengerjainya. Tetap tidak ada siapa-siapa.

Nalurinya sebagai dukun voodoo mengatakan ada yang tidak beres, terutama karena sumber suara kini berasal dari atas kepalanya. Agbenyaga bersiap-siap kabur dan akan kembali besok setelah dia mempersiapkan diri lebih baik lagi.

Terlambat! Sebuah entitas tak kasatmata namun sangat bertenaga menghantam Agbenyaga hingga dia melayang setinggi 10 meter. Agbenyaga terbanting dengan keras di atas aspal, disusul teriakan kesakitan. Tulang kering kirinya patah, sementara lutut kanannya terkilir. Namun, Agbenyaga adalah seorang dukun voodoo yang sarat ilmu dan pengalaman. Dia tidak mudah dihabisi begitu saja.

Sambil menahan sakit yang teramat sangat, Agbenyaga berjalan tertatih-tatih kembali ke pondok pemburu. Di sana tersimpan beberapa barang bawaannya yang dia harapkan bisa mengobati lukanya.

Suara motor, decitan ban, benda jatuh berdebam dan gesekan logam di atas aspal terus menerus terdengar telinga Agbenyaga. Dia merasa jika hantaman tadi tidak mampu membunuhnya secara langsung maka suara-suara ini akan membuatnya gila, dan mati perlahan-lahan.

Pondok pemburu sudah terlihat di depan mata tapi Agbenyaga sudah tidak kuat lagi. Dia jatuh tersungkur. Agbenyaga duduk bersandar di batang pohon pisang, mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanannya.

Istirahat Agbenyaga terganggu oleh suara langkah kaki yang berjalan mendekat. Dia melihat sandal dari anyaman kulit, dan kaki yang dibalut celana putih. Agbenyaga mengangkat kepalanya.

“Kamu…?”

Pria tampan yang ditemui Agbenyaga beberapa hari yang lalu kini berdiri di hadapannya. Laki-laki itu kemudian jongkok hingga matanya sejajar dengan Agbenyaga. Bibirnya tersenyum. “Ya, betul. Saya.”

Laki-laki itu merogoh kantung bajunya, mengambil sesuatu dan meletakkannya ke tangan Agbenyaga. Tanpa harus melihatnya Agbenyaga tahu persis benda yang ada di dalam genggamannya. Jimat milik Xetsa. Dia menatap pria misterius yang masih berlutut di hadapannya.

“Siapa kamu?” Tanya Agbenyaga pelan.

“Saya Kpodo.” Jawab pria itu.

Selama lebih dari empat puluh tahun menjadi dukun voodoo, baru kali ini Agbenyaga tahu nama korbannya. Tapi bukan itu yang Agbenyaga maksud. Dia ingin tahu siapa sesungguhnya laki-laki ini, apa hubungannya dengan Xetsa sampai dia bisa memiliki jimat keramatnya?

Sebuah ingatan tiba-tiba menyelinap masuk, ingatan yang membawa Agbenyaga pada peristiwa biasa puluhan tahun yang lalu. Biasa, karena tidak ada yang terlalu istimewa dari sebuah peristiwa kelahiran, sama seperti ribuan kelahiran lain yang terjadi di Hiamankyen. Agbenyaga berusaha keras mengingat-ingat apa yang istimewa dari kelahiran selain itu terjadi persis saat hari bulan mati.

Agbenyaga memandangi wajah laki-laki misterius itu. Seperti sebuah déja vu, wajahnya yang halus dan tampan mengingatkannya pada seseorang. Agbenyaga memeras kuat ingatannya. Seraut wajah lain muncul di dalam benak Agbenyaga.

Mungkinkah…?

Tidak, ini tidak mungkin!

Agbenyaga mengamati sekali lagi wajah pria di hadapannya. Tidak salah lagi. Kepala Agbenyaga langsung terasa sakit, otaknya serasa seperti sedang diremas-remas.

“Kalian… kembar?” Tanya Agbenyaga sambil menahan sakit yang teramat sangat.

“Betul, saya adalah Kpodo. Xetsa adalah adik saya. Nama kecilnya adalah Dofi,” jawabnya seraya mengambil jimat Xetsa yang masih ada dalam genggaman Agbenyaga. Jimat itu kemudian digenggamnya erat-erat.

Sakit di kepala Agbenyaga semakin menjadi. Kepalanya bagai dihimpit batu seberat ratusan kilo, lehernya terasa kaku dan seluruh simpul saraf di tubuhnya seperti berhenti bekerja.

Dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya, Agbenyaga berteriak sekuat tenaga. Suaranya terdengar sangat memilukan dan menyayat. Teriakan Agbenyaga melemah dan akhirnya berhenti.

Laki-laki misterius berbaju putih itu pun berdiri dan menghilang bersama hembusan angin harmattan.

Penulis: Tyra