Bisik-bisik yang beredar di Hiamankyen, sebuah desa kecil di Ghana – Afrika, Agbenyaga adalah seorang dukun voodoo. Setiap ada kematian yang tidak bisa ditemukan sebab logisnya, tuduhan langsung mengarah kepada Agbenyaga.

Tentu saja, tudingan tersebut tidak pernah disampaikan secara terang-terangan di muka Agbenyaga. Tapi dia bisa merasakan tatapan mata orang-orang yang penuh curiga, bahkan ketakutan saat berpapasan dengannya.

Agbenyaga sendiri tidak ambil pusing dengan gosip tersebut. Dia tidak pernah membantah atau pun mengiyakan. Bukan karena dia tidak peduli dengan nama baiknya, atau takut. Dia yakin penduduk desa tidak akan menggeruduk atau menyerang rumahnya. Beberapa dari mereka pernah diam-diam datang ke rumahnya di malam hari untuk meminta bantuan, termasuk kepala desa.

Reputasi Agbenyaga di dunia ilmu hitam sebenarnya sudah sangat terkenal. Namun dia pantang mempraktekkan ilmu hitamnya kepada penduduk desanya sendiri. Dia selalu menolak halus jika ada yang datang untuk mencelakai warga Hiamankyen, dan tidak ada yang berani melawan penolakannya.

Agbenyaga hanya tidak ingin nasibnya berakhir mengenaskan seperti Xetsa yang mati dibakar oleh penduduk desa. Xetsa kepergok sedang menghirup darah korbannya. Tragisnya, korban tersebut adalah keponakan Xetsa sendiri.

Malam itu, Xetsa berdiri dengan gelisah di balik tirai kamar. Di dalam kamar, adik ipar Xetsa sedang menunggu kelahiran anak pertamanya. Kehadiran Xetsa tidak diketahui oleh siapapun, termasuk adiknya sendiri. Dan, tidak ada orang lain di dalam rumah saat itu.

Suara tangisan bayi memecah sepinya malam. Xetsa bertambah gelisah. Bau amis darah yang meruap ke udara hinggap di hidungnya, tercium bak aroma madu segar yang baru saja dipanen. Sekujur tubuh Xetsa gemetar, keringat mengucur deras dari setiap pori di badannya. Dadanya seperti sesak, dan napasnya terasa berat.

Tanpa bisa ditahan lagi, Xetsa menyerbu masuk ke dalam kamar. Bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan oleh adik iparnya langsung dibawa ke ruang tengah. Mata Xetsa seketika berubah menjadi merah, dan pupil matanya memipih, mirip dengan mata hewan buas.

Bidan dan ayah si bayi datang terlambat. Saat masuk ke dalam rumah, mereka disuguhi pemandangan yang mengerikan. Sang bayi merah sudah tergolek lemas tak bernyawa di atas meja makan, sementara wajah dan tangan Xetsa berlumuran darah.

Ayah si bayi langsung pingsan di tempat, sedangkan bidan bayi berlari ke tengah kampung sambil berteriak histeris. Suaranya membangunkan seluruh penduduk desa.

Seperti ada yang mengomando, semua warga desa, terutama laki-laki dewasa, bergerak menuju rumah Xetsa. Mereka membawa parang dan obor, serta tidak ketinggalan jimat yang dipercaya bisa melindungi mereka dari kekuatan jahat voodoo.

Xetsa berhasil ditemukan bersembunyi di dalam kamar semedinya. Dia langsung digeret keluar rumah menuju ke lapangan tengah desa. Beberapa orang kemudian menyulutkan obor yang mereka bawa ke seluruh bagian rumah. Hanya dalam hitungan menit, rumah kayu itupun berubah menjadi api unggun raksasa.

Sepanjang perjalanan, penduduk desa beramai-ramai melemparkan batu ke tubuh Xetsa sambil melontarkan kata-kata cacian. Walaupun sudah dalam keadaan terdesak, Xetsa tetap tidak mau mengalah. Kalimat kutukan, sumpah serapah dan mantra keluar silih berganti dari mulutnya yang sudah berdarah-darah.

Di tengah lapangan, Xetsa dibawa ke dekat sebuah batang pohon. Mulutnya masih mencaci maki, menyumpahi dan mengutuk. Warga desa pun terus melempari tubuhnya dengan batu. Tiba-tiba, sebuah batu yang cukup besar melayang tepat mengenai kepalanya, membuat Xetsa jatuh pingsan.

Beberapa orang lalu mengikat erat-erat tubuh Xetsa di batang pohon. Yang lainnya menyiapkan potongan kayu dan meletakkannya di sekeliling pohon.Mereka kemudian beramai-ramai menyiramkan minyak tanah ke tubuh Xetsa.

Bau minyak tanah yang menyengat dan rasa dingin yang mendadak menerpa tubuhnya membuat Xetsa siuman. Matanya garang menatap orang-orang yang mengerumuninya. Xetsa membuka mulutnya lebar-lebar, lalu dari tenggorokannya keluar teriakan melengking yang menulikan telinga. Semua orang spontan menutup kuping mereka.

Salah satu penduduk kampung berlari mendekati Xetsa dengan membawa obor dan langsung menyulut tumpukan kayu yang sudah basah oleh minyak tanah. Tindakan itu diikuti oleh penduduk lainnya. Mereka menyulut kayu dari sisi yang berbeda. Api mulai merambat, dan menjilat tubuh Xetsa.

Di tengah kobaran api, Xetsa tertawa mengejek, seolah sedang merendahkan musuh-musuhnya. Suara tawa yang membuat semua orang mengkirik. Satu per satu penduduk desa menyingkir, meninggalkan Xetsa yang terus tertawa sebelum akhirnya membisu untuk selamanya. Tersisa suara gemeretik api yang masih membakar residu tubuh Xetsa.

Agbenyaga mengamati seluruh kejadian dari kejauhan. Dalam hati dia berikrar tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Xetsa. Pengalamannya mempelajari voodoo sejak remaja mengasah kemampuannya untuk bersabar dan mengendalikan hasratnya. Jangan sampai dirinya yang dikendalikan oleh hasrat memuaskan dahaga akan darah.

Di usianya yang sekitar 60 tahunan, Agbenyaga semakin ‘bijak’ mengontrol dirinya. Dulu dia membutuhkan darah segar setidaknya sekali dalam satu bulan. Namun, sudah lebih dari dua puluh tahun terakhir dia berhasil menjadikannya cukup satu dalam sebulan. Hanya saja dia perlu asupan yang lebih besar, lebih banyak darah. Anak kecil dan bayi tidak akan mencukupi kebutuhannya. Yang paling pas adalah remaja.

Satu persatu remaja belia usia antara 15 – 20 tahun di desa-desa sekitar Hiamankyen lenyap setiap bulannya. Tidak banyak orang yang akan mencurigai hilangnya para remaja tersebut. Polisi pun hanya menganggap mereka melarikan diri ke kota akibat tekanan kemiskinan.

Agbenyaga juga terus berusaha mencari cara yang paling aman berburu korbannya. Mengubah diri menjadi mahluk mirip hewan buas bukan lagi tindakan cerdas. Para penjaga desa yang memergokinya akan dengan mudah menghabisi lewat mantra yang mereka ucapkan. Sudah tiga dukun voodoo mati dengan cara seperti ini. Seorang dukun voodoo yang sedang menjelma menjadi mahluk lain untuk berburu mangsa berada dalam kondisi terlemah sehingga akan sangat gampang dibinasakan. Di samping itu, proses penjelmaan berjalan sangat menyakitkan dan terlalu lambat.

Hingga pada suatu malam menjelang bulan mati, Agbenyaga mendapat ide cemerlang. Segera dia berlari ke kamar semedinya dan mengeluarkan botol ramuan yang tersimpan di sebuah tempat yang sangat rahasia.

Agbenyaga pergi ke halaman belakang rumahnya dan bersiap-siap mencoba keahlian barunya. Mulutnya bergerak merapalkan mantra yang belum lama dibuatnya.

Blaaaam! Wuuuuussh!

Di hadapan Agbenyaga muncul kabut hitam pekat. Dia mundur sekitar sepuluh langkah. Kabut hitam kini terlihat mirip dengan tumpukan tanah atau batu.

Sempurna.

Agbenyaga mengulangi beberapa kali, memastikan semua berjalan sesuai harapan.

Dua hari menjelang bulan sideris, Agbenyaga mulai menyiapkan segala kebutuhan karena dia harus berjalan jauh keluar dari desa. Tujuannya adalah persimpangan Kpandai di Jalan Raya Binda – Kete Krachi yang berjarak sekitar 70 km dari rumahnya.

Waktu yang ditunggu pun tiba. Selepas matahari terbenam, Agbenyaga meninggalkan pondoknya, dan berjalan menyelinap di antara bayangan pohon dan semak. Tentu saja, dia menghindari jalanan yang umum dilalui orang. Dia sama sekali tidak takut dengan ular atau serangga berbisa yang biasa bersembunyi di antara dahan pohon dan semak-semak. Agbenyaga lebih takut kepada manusia yang memiliki kemampuan sama seperti dirinya. Mereka akan dengan mudah mendeteksi tujuannya berada di alam terbuka.

Agbenyaga harus berjalan hampir sehari semalaman sebelum akhirnya tiba di tujuan. Setelah mengamati beberapa lokasi, Agbenyaga memilih sebuah spot yang sangat ideal. Sisi kiri dan kanan jalan dipenuhi semak-semak berduri, dan berada di jalan yang lurus. Kendaraan pasti akan melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Dan saat melihat ‘tumpukan batu’ ciptaannya di jalanan, semua akan sangat terlambat.

Dengan sabar dia menunggu di balik semak hingga lalu lintas semakin lengang. Menjelang tengah malam, kendaraan yang lewat kian sedikit.

Setelah memastikan tidak ada kendaraan atau manusia yang lalu lalang, Agbenyaga keluar dari persembunyiannya. Cairan ramuan dari dalam botol dituang ke atas jalanan. Dia mulai merapalkan mantra yang sudah disempurnakan. Dalam sekejap kabut hitam tebal muncul, dan Agbenyaga kembali bersembunyi di balik semak berduri.

Waktu terasa berjalan sangat lambat sebelum akhirnya kuping Agbenyaga menangkap derungan mesin motor dari kejauhan. Dia langsung bersiap-siap. Bak seekor hewan buas yang tengah mengintai mangsa, Agbenyaga dengan sabar menunggu korban masuk ke dalam jebakannya.

Seorang kurir sedang dalam perjalanan pulang ke kota Tamale setelah mengantar barang ke desa Burai. Akibat motor yang sempat mogok, dia jadi terlambat berangkat padahal jarak yang ditempuh lebih dari 180 km. Namun, dia harus kembali malam ini juga ke Tamale supaya besok tetap bisa masuk kerja. Ini adalah pekerjaan pertamanya dengan upah yang layak. Dia tidak boleh sampai dipecat.

Si kurir memacu motornya secepat mungkin. Dia bersyukur saat itu sedang musim kemarau, sehingga kondisi jalanan kering walau agak berdebu sehingga dia harus berulang kali melap kaca helm, membersihkan debu yang menempel. Ini dilakukannya sambil tetap melaju di atas motor.Tatkala tangannya baru saja selesai melap kaca pelindung helm, dia kaget setengah mati. Di depannya terhampar tumpukan batu yang tinggi. Secepat mungkin dia menarik tuas rem di stang motornya.

Ciiiiit! Suara decitan roda di atas aspal merobek kesunyian malam.

Tubuh si kurir terlempar ke udara beberapa meter dan terbanting dengan keras di atas jalanan. Kedua kakinya patah, namun dia masih hidup. Dengan bantuan kedua tangannya, dia berusaha merayap ke arah motornya yang terguling.

Agbenyaga yang masih berdiri di balik semak berduri langsung keluar dari persembunyiannya setelah yakin tidak ada mobil atau motor lain yang mendekat. Dia lalu jongkok di hadapan calon korbannya yang tengah merayap atas aspal.

Cahaya lampu depan motor yang masih bisa menyala memberi sedikit penerangan di tengah kegelapan malam. Agbenyaga mengamati si pemuda yang terus merayap tanpa menyadari apa yang sudah ada di hadapannya.

Pemuda calon korban Agbenyaga terkejut melihat sepasang kaki yang lebih mirip cakar besar sudah berada di depannya. Dia mendongak. Apa yang dia lihat membuat setiap urat saraf di dalam tubuhnya berkerut ketakutan.

Sesosok mahluk berambut gondrong dengan mata merah menyala, membelalak lebar sementara pupilnya hitam memipih. Mulut mahluk itu menyeringai lebar sehingga terlihat semua giginya yang runcing mengkilat, termasuk empat buah taring. Bau yang teramat busuk menyeruak dari tubuhnya.

Si pemuda tidak lagi sempat berteriak. Mendadak semuanya hitam dan gelap. Agbenyaga berlutut untuk merampungkan misinya. Setelah selesai, dia pergi sambil membawa motor untuk disembunyikan.

(Bersambung)

 

Penulis: Tyra