Hari ini aku kembali ke sekolah dan akan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Sekarang aku percaya!

Kupandangi bangunan Canterlot yang megah. Tidak ada yang berbeda setelah lama sekali tdak melihatnya.

“Zeera!” Aku berlari ke arah Zeera yang sedang duduk di ayunan.

“Ellena? Akhirnya kau kembali. Selama kau tidak ada, Sherina meneror kami, membunuh semua orang yang melihatnya. Sampai saat ini sudah ada 5 orang meninggal dan 3 orang patah tulang, 2 orang luka ringan dan 1 orang mengalami gangguan jiwa. Dulu, sebelum kau datang dia memang sudah mengganggu kami, tapi tidak meneror.”

Aku termenung di ayunan sebelah Zeera. Kira-kira apa yang harus aku lakukan? Aku berdiskusi dengan Zeera sambil menceritakan kembali apa saja yang terjadi selama aku tidak ada di sekolah. Aku juga menceritakan keadaan keluargaku hingga aku terhanyut dalam tangisku.

“Hei lihat itu! Orang aneh itu bicara sendiri. Hahaha” Tiba-tiba ada seorang yang mengejekku yang lainnya ikut menertawaiku.

“Ellena jangan sedih masih ada aku. Aku akan menjadi temanmu,” Zeera menghiburku.

“Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku”

***

Sepanjang perjalanan menuju lantai 3, perjalanan terasa sangat jauh dan menyakitkan. Bagaiman tidak? Aku ditertawakan.

“Ellena, apa kau tidak merasa aneh ketika berjalan denganku?”

“Tidak memangnya kenapa?”

“Sebentar lagi kamu akan mengetahuinya kok.”

“Teman-teman! Orang ini bicara sendiri,” seseorang berteriak menyindirku. Menyebalkan setiap aku lewat orang-orang mengejek dan membicarakanku.

Hufft, well lantai 2 lumayan sepi mereka juga tidak mengejekku tapi membicarakanku. Itu bisa dihiraukan, aku bisa berjalan lega. Tiba-tiba..

BRUK

Seseorang yang berlari dari arah berlawanan menabrakku.

“Maafkan aku,” ucapnya sambil memungut buku-buku yang terjatuh. “Tak apa. Biarku bantu.”

“Tunggu dulu… hei ! lihat dia Ellena si psikopat.”

Aku terdiam mendengar kata-katanya tadi. Aku ingin membalas tapi sudah terlanjur sakit hati. Aku berlari meninggalkan orang itu. Di lantai tiga, tidak ada orang sama sekali kecuali..

Zeera? Tidak lagi. Aku meninggalkannya tadi. Pasti dia marah sekarang. Sudahlah. Apa boleh buat.

Aku menghella napas sambil membuka gagang pintu.

DIKUNCI !!?

“Liana.. buka pintunya”

Aku berteriak sampai beberapa kali ,pintunya tetap tidak dibuka.

***

“Liana.. Ternyata kau di sini.” Aku menemukan Liana di taman sekolah. Dia sedang bermain ayunan

“Ellena? Apa kabarmu?”

“Aku baik. Tolong kunci kamarnya”

“Oh iya. Kamarnya tidak di kunci kok. Mari kuantar.”

Aneh rasanya tadi pintu kamarnya terkunci. Liana mengantarku ke kamar.

“Ell.. Selama kau tidak ada, banyak hal yang terjadi. Itulah sebab kita pindah kamar.”

“Pindah ?”

“Ya. Karena kita hanya berdua, jadi kita dipindahkan ke kamar yang isinya satu orang.”

Begitukah? Kalau aku sekamar dengan Zeera pasti asyik. Sepanjang perjalanan aku membayangkan diriku yang sedang bermain dengan Zeera. Sampai kami berhenti di depan sebuah kamar. Masih di lantai 2, kamar nomor 27.

Liana masuk ke dalam. Begitupun aku.

“Ellena ini tempat tidurmu. Ini meja belajar dan lemarimu,” Liana memberi arahan.

“Kamar kita sekarang di sini? Siapa satu orang lagi ?”

“Ya di sini kamar kita. Satu orang lagi… Itu! Yang sedang di balkon. Ellena, aku mau main ayunan. Kamu mau ikut?”

Liana menjawab sambil berjalan ke ambang pintu.

“Tidak. Kamu pergi saja.”

Liana langsung pergi, aku membereskan barang-barangku. Memasang seprai. Lalu aku mendekati anak yang duduk di balkon itu.

“Hei. Namamu siapa?” tanyaku

“Flare Elizabeth,” jawabnya tanpa menoleh

“Kalau namaku..”

“Ellena Duchanel. Aku sudah tau namamu,” katanya ketus

“Dulu aku sekamar dengan Rebeca dan Sussan. Mereka dibunuh oleh arwah yang ingin membunuhmu, Sherina Tate.”

Dia menjawab sebelum aku bertanya. Tadi aku memang ingin bertanya itu. Dia seperti Zeera tapi bukan Zeera. Apa jangan-jangan dia punya kemampuan seperti Zeera juga ?

“Aku satu kelas denganmu,” ucapnya sekali lagi menjawab sebelum aku bertanya

“Oya? Kenapa aku tak pernah melihatmu?”

“Aku duduk di depan dan kau di belakang.”

“Jadi begitu ya…”

“Kau tertinggal jauh sekali. Kau tidak masuk selama satu bulan padahal kau baru masuk lima hari sebelumnya. Kau juga melewatkan ujian sejarah dua pekan yang lalu. Hari ini ada ujian musik. Sebaiknya kau berlatih. Kau pemain biola kan?”

“Ya ,kau benar kalau begitu aku berlatih dulu. Sampai bertemu di ujian musik.”

Aku melambaikan tangan pada Flare. Dia benar-benar seperti Zeera. Aku berjalan agak cepat. Dan sedikit menunduk supaya tidak terlihat orang lain. Yah, kalian pasti tau aku.. ‘Ellena Duchanel si psikopat’ mereka pasti bilang begitu.

Di ruang musik, untunglah biola tidak ada yang memakainya. Hanya sedang dibersihkan. Aku menunggu sembari melihat-lihat. Pandanganku tiba-tiba tertuju pada kerumunan orang-orang di dekat piano. Aku menuju kesana ,penasaran.

“Ada apa ya ?”

“Lukisan itu dijual”

“Lukisan apa? Yang mana ?” Di sini memang banyak lukisan

“Yang itu, lukisan paling mahal, dan paling tua di Canterlot town. Lukisan Cessa Noella.”

Aku melihat lalu mengangguk, lukisan anak perempuan memakai seragam sekolah dengan latar sekolah Canterlot. Di sampingnya dipajang juga foto dirinya. Hanya saja ukurannya lebih kecil dari lukisan itu.

***

Kriiing.. Kringg..

“Lumayan bagus. Tetapi itu belum cukup untuk menebus ke tertinggalanmu. Datanglah setiap hari Selasa dan Sabtu untuk kelas tambahan,” kata Ms Rissa setelah melihat penampilanku.  Aku lega dia menyukainya. Tapi itu mesih belum cukup.

“Baiklah ,akan ku usahakan.”

“Bagaimana ujianmu?” tanya Liana yang menjemputku di depan kelas

“Bagus, dia menyukainya. Tapi aku tetap diberi tiket kelas tambahan.”

“Tidak apa.. Lagi pula kelas tambahan itu tidak buruk kok,” Liana menghibur “Ya.. Sepertinya kau harus menyiapkan tenaga ekstra luar biasa bulan ini,” seru Flare yang bergabung ke obrolan aku dan Liana.

“Aku mengerti..”

“Merylyne, Erica, Tharissa, Sussan, lalu Rebeca. Sudah mati… Di tanganku.. Mereka semua akan mati satu persatu lalu… KAU! Juga akan mati.”

Suara itu.. Mengalun pelan membisikkan telingaku. Aku tidak takut, tapi entah kenapa keringat dingin membanjiri tubuhku. Dan.. aku merasa dia ada di..

“Aku selalu di dekatmu, dan.. menunggu saat yang tepat untuk membunuhmu… bersiaplah..”

“Ellena..” Liana menepuk pundakku “Liana, kau bisa mendengarnya lagi?” tanyaku berbisik dan agak panik

“Maksudmu.. Suara misterius yang ingin membunuh kita?”

“Ya”

“Aku dengar. Kukira hanya imajinasi. Kau mendengarnya juga ya tadi?”

Aku mengangguk.

“Ellena.. Aku merasa dia itu serius.. Aku pernah melihat Merylyne dikejar-kejar anak perempuan berseragam seperti kita tapi sudah penuh darah. Lalu.. Setelah aku berhasil mengejar mereka, Merylyne sudah…”

“Aku juga melihatnya di lantai 4 dia bilang dia yang membunuh nenekku. Dan dia juga akan membunuh kita semua..”

“Apa ini.. Kenapa kalian berbisik?” tanya Flare

“Ehm.. tidak apa”

“Ellena ,Flare aku masuk kelas dulu ya..”

“Kalau begitu.. kita juga Flare. Ayo masuk”

Bersambung…

 

Penulis: Kalisya