Malam itu, seperti biasa Riani tidak bisa tidur. Di tengah kamarnya dia memejamkan mencoba untuk tidur, tetapi apadaya ingatan kejadian beberapa hari lalu terus menghantuinya. Suasana hening total di dalam kamarnya tidak membantu sama sekali, tetapi malah membuat dirinya lebih sulit menuju alam mimpi.

Tiba-tiba asistennya mengetuk pintunya. “Dok, Profesor Andi mencarimu.”

Riani terhenyak sebentar. Profesor Andi adalah Kepala Departemen Obstreti Ginekologi. Sangat jarang profesor sengaja ingin memanggil orang ke kantornya kalau bukan masalah besar. Apakah mungkin dia ingin membahas kejadian beberapa hari yang lalu itu?

Tok tok.

“Ya, masuk,” terdengar suara dari dalam.

Riani membuka pintu kantor profesor. Profesor Andi, pria paruh baya duduk di balik mejanya. Dia langsung menutup monitor laptopnya begitu melihat Riani yang masuk.

“Mencari saya prof?”

“Ya. Silahkan duduk,” ucap profesor.

Mohon jangan bahas masalah itu. Mohon jangan bahas masalah itu.

“Bagaimana pekerjaan beberapa hari ini?” buka profesor.

“Baik prof. Tidak ada masalah.”

“Baguslah. Sebetulnya saya ingin bahas mengenai operasi kamu yang gagal kemarin itu,” ucap Profesor langsung.

Sial.

Profesor Andi sambil tersenyum berkata, “Itu hanyalah operasi kecil. Setiap orang ada kemungkinan melakukan kesalahan. Jadi bagaimana kejadiannya?”

Bayangan Riani mulai berputar kembali ke kejadian beberapa hari yang lalu. Kembali ke pertemuan dia dengan Andra.

“Tolonglah. Kamu tahu istri saya itu orangnya bagaimana! Saya tidak bisa memiliki bayi itu!”

“Andra, kamu sudah gilakah! Saya ini dokter. Bagaimana mungkin kamu bisa menyuruh saya melakukan itu. Bagaimanapun ini adalah kesalahan kamu. Ini sama sekali bukan urusan saya.”

“Tolonglah jangan begitu. Saya tahu saya bersalah karena masih mencari cewek lain walaupun sudah beristri. Saya bertobat. Tidak akan lagi. Tetapi tolonglah. Kamu tahu kondisi keluarga saya. Tidak mungkin saya bisa merawat bayi ini,” balas Andra memelas.

Riani sangat paham Andra itu orangnya seperti apa. Dia sudah terlalu lama menganggur. Tanpa penghasilan selalu bergantung pada uang yang diberikan orangtua. Dan lebih parahnya Andra, bukannya mencari pekerjaan dia lebih senang bermain perempuan. Tidak ada akhir yang baik untuk orang yang sering bermain perempuan. Riani dalam hati mencatat, kelak kalau mencari pasangan hidup, jangan mencari orang seperti Andra.

Andra melihat Riani hanya diam saja, dia terus memelas “Kalau bayi ini sampai terlahir di dunia, pada akhirnya dia juga akan hidup sengsara. Tegakah kamu? Bagaimanpun juga masa depan anak itu sudah mati!”

Riani melihat kebenaran di kata-kata Andra. Walaupun pahit, memang benar. Bayi itu jika terlahir ke dunia ini, dia akan lebih menderita. Kemudian dia melihat Andra yang betul-betul kesusahan… Mata Andra yang penuh permohonan belas kasihan. Mata memelas yang tidak bisa dia tahan.

“Saya harus pergi,” Riani langsung pergi.

Operasi persalinan itu gagal.

Riani kembali tersadar. Dia menatap profesor. “Itu murni kecelakaan prof. Kami tidak menyadari sang Ibu memiliki kompilasi sampai akhirnya melakukan pembedahan. Kami sudah melakukan usaha sepenuhnya.”

“Oh ya?” tatap profesor, sambil tersenyum.

Keringat Riani mulai turun dari keningnya. “Iya.”

“Yakin?” profesor kembali bertanya dan menatapnya dalam-dalam.

“Yakin, prof.”

Sesaat kemudian sang profesor semakin tersenyum semakin lebar. “Itu adalah apa yang kamu bilang. Saya tidak percaya.”

Bibirnya yang dari tadi membentuk senyuman, semakin melebar. Semakin melebar. Dan wajah profesor semakin memutar. Riani tidak bisa menjelaskan apa yang dia lihat…..

Wajah profesor, memutar ke sana kemari, darah mulai muncul dari mulut, hidung, telinga, dan matanya, dan tiba-tiba muncul dalam bentuk wajah fetus bayi.

“PEMBOHONG! KAMULAH DENGAN SENGAJA MEMBUNUHKU!!” teriak monster itu keras.

Riani tidak percaya apa yang dia lihat, dia berlutut. Dan menangis. Menangis. Ampun! Ampun! Saya melakukannya juga bukan karena kenginanku….”

“PEMBUNUH! KAMU AKAN MENDAPAT PEMBALASANNYA!”

Riani menutup kedua telinganya. Dia berusaha lari keluar, tetapi ganggang pintu tidak mau bergerak sama sekali. Pintu terkunci. Dia terkurung di dalam kantor itu.

“Ampun! Bagaimana saya tidak membantu Andra. Dia itu adik kandungku! Apa yang bisa saya lakukan?!” Riani memohon, mencoba meminta simpati kepada sosok itu, yang entah adalah hantu atau monster.

“Tolong! Saya tidak bersalah! Saya tidak bersalah! SAYA TIDAK BERSALAH”

Sesaat kemudian polisi dan tim medis masuk ke kantor profesor Andi. Tim medis yang terdiri dari psikiater membawa Riani keluar diikuti beberapa polisi. Salah satu dari polisi tetap di dalam ruangan meminta keterangan dari Profesor Andi.

Ternyata ketika sedang berbincang dengan Riani, tiba-tiba profesor mendapati Riani menjadi bengong. Ketika dia mencoba memanggilnya dan mengayunkan tangannya ke depan Riani, tiba-tiba Riani menatapnya dan berteriak histeris.

Dan dari situlah Profesor Andi mendengar semua kata-kata yang diucapkan oleh Riani. Karena ada dugaan malpraktik secara sengaja, dan kondisi kejiwaan Riani yang labil, dia akhirnya memutuskan menghubungi polisi dan tim psikiater untuk menanganinya.

Riani duduk diam sendirian di dalam ruangan. Wajahnya tidak berekspresi. Di luar dua perawat melihat ke dalam ruangan penuh rasa iba.

“Kamu sudah dengar? Kemarin adiknya meninggal. Hari ini kakaknya yang malah menjadi begini,” buka salah satu perawat.

“Mengapa bisa begitu?” tanya perawat yang lain.

“Kakaknya itu dokter yang bertugas untuk melakukan operasi cesar. Pasiennya adalah kekasih gelap adiknya. Dengar-dengar sih, dia dengan sengaja menggagalkan operasi itu, akibatnya sang bayi meninggal dan tidak lama sang istri karena kehabisan terlalu banyak darah juga meninggal.”

“Ya ampun… Omong-omong bagaimana adiknya bisa sampai meninggal?”

“Oh. Katanya sih kecelakaan ditabrak kereta api. Dan anehnya, dengar-dengar dari rumor polisi sih, yang mendorongnya ke kereta api ini adalah kakaknya sendiri. Yakni perempuan yang terkurung itu…”

“Hah! Sadis sekali…”

“Mungkin hati nuraninya memberontak. Mungkin dia merasa bersalah telah membunuh bayi. Sehingga akhirnya dia kehilangan nalarnya. Dan melakukan hal-hal di luar nalar, seperti membunuh adiknya.”

“Atau mungkin ini adalah pembalasan ibu anak terhadap mereka berdua…”

Sedangkan di dalam ruangan mulut Riani hanya bergumam…

“… tidak bersalah, saya tidak bersalah, saya tidak bersalah…”