
Misteri di Kampung Man (Bagian 2)
Hari Kedua : Altar Tulang Belulang
Pagi datang juga. Hujan pun sudah berhenti.Tanpa berbasa basi, kami pun langsung meninggalkan kampung aneh ini. Tiga orang yang tidak cukup tidur semalaman bersama orang misterius yang memegang kapak berkeliaran di luar semalaman betul-betul merupakan pengalaman buruk. Anehnya orang misterius itu tidak pernah mendekati kami. Mungkin orang gila. Kalau tidak, bagaimana mungkin ada orang yang sengaja di kampung yang sudah ditinggalkan ini? Memikirkan tatapan tajam penuh kebencian, bulu kuduk saya langsung berdiri.
Anran berdiri di depan Xiaoyao dan Kuaidao di depan gerbang Kampung Man menyambut kami. Anran tidak berbeda jauh dengan bayangan kami. Badan tinggi semampai, dengan rambut panjang, sungguh feminim. Xiaoyao sama seperti nickname-nya, tampil nyentrik, mengenakan topi matahari ditambah kaca mata hitam, dipadukan T-Shirt hitam, celana jeans. Kelihatan jelas seorang periang.
Sedangkan kakak yang berdiri di samping mengenakan kacamata berbingkai emas, terlihat dewasa dan ganteng, sudah pasti si Kuaidao. Xiaoyao, langsung menghampiri saya langsung memeluk saya. “Katanya kalian nyasar. Kami semalamam mengkhawatirkan kalian. Untunglah tidak apa-apa…” Saya sangat terharu sekali.
Anran yang berdiri di samping langsung celetuk “Duh, akrabnya.” Biarpun semuanya baru pertama kali saling bertemu langsung, tetapi tidak ada rasa kikuk di antara kami. Justru kami malah merasa sudah dekat. Laojiu pun berkata “Saya ingat Youyi pernah mendeskripsikan mata Anran. Kalau Anran sedang marah bentuknya bulat seperti bulan purnama. Kalau sedang tertawa bentuknya seperti bulan sabit.”
Mata Anran langsung melotot, “Kamu ngomong apa?”
“Ternyata memang bulat seperti purnama. Hahaha!” Kerumunan pun tertawa.
“Anran!” Sesosok pria muncul dari belakang sambil berlari kecil. Saya, Laojiu dan Feiding terhenyak. Bukankah pria itu adalah orang misterius semalam itu? Di saat kami masih bingung, Anran sudah memperkenalkannya. Namanya Gaoyan, seorang penulis naskah. Ketika sedang berjabat tangan, saya bisa merasakan tangannya yang dingin, seperti tidak ada hawa kehidupan. Seperti tangan orang mati saja.
Laojiu menarik Anran ke samping, “Siapa sih dia?”
Anran menjawab “Gaoyan. Bukannya tadi udah saya perkenalkan?”
Feiding ikut nimbrung ke situ “Semenjak semalam dia bersama kalian terus?”
Anran mengangguk-angguk sambil menatap kami dengan perasaan heran.
Saat itu, Kuaidao berteriak, “Karena semuanya sudah berkumpul, mari kita mulai. Yuk keliling, siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu.”
Di atas gunung, kita berkeliling tanpa tujuan seharian. Memang tempat ini sepertinya sudah terlantar sekali. Di atas gunung pun semuanya gersang dan tidak ada apa-apa sama sekali. Pada saat kami bermaksud kembali ke bangunan putih, Feiding berteriak, “Lihat! Apa itu?” Ternyata Feiding menemukan sebuah mulut gua dibalik semak-semak liar. Rasa penasaran kami pun bangkit kembali dan langsung menuju gua itu.
Di dekat gua tersebut terukir tulisan dengan karakter yang aneh. Kami menyalakan obor dan berjalan masuk. Ternyata setelah berjalan sesaat, kami sudah mencapai ujung gua.
Di dalamnya cukup luas, dengan pasir kering di lantainya. Di situ terdapat sebuah altar yang kelihatan sakral. Ditopang dengan enam pilar berwarana merah. Platform altar terdapat ukiran-ukiran yang sangat kompleks. Mungkin pantas disandingkan dengan keajaiban dunia. Yang membuat kami bergidik tidak hanya ukiran yang sangat indah itu, melainkan juga altar ini sendiri, secara keseluruhan dibentuk dari tulang belulang. Jika dilihat dari bentuknya, kemungkinan besar adalah tulang sapi. Tulang belulang ini ditumpuk-tumpuk sedemikian rupa sehingga berbentuk sebuah altar.
Ketika kembali ke gedung putih rasa penasaran saya mengenai kejadian semalam bertambah. Jadi saya langsung bertanya, “Sebetulnya tempat semalam yang kami pergi itu di mana yah? Mengapa bisa sama persis dengan Kampung di sini?” Saat itu Gaoyan sedang melihat video rekaman dia di gua tadi dengan camcoder-nya.
Setelah mendengar pertanyaan saya, dia meletakkan camcorder-nya, dan menjawab “Sebetulnya desa itu dibangun beberapa saat kemudian.” Sambil menyalakan rokok dia melanjutkan, “Dulu di kampung ini terdapat dua marga besar, Li dan Yang. Konon dikarenakan adanya konflik pada saat ritual leluhur, membuat mereka berseturu yang pada akhirnya memaksa kelompok Li diusir keluar dari desa. Kelompok Li ini akhirnya pindah dan menempati tempat baru. Mereka mendirikan struktur bangunan sesuai dengan struktur di Kampung Man. Kampung baru ini disebut Kampung Man Barat.
“Sepuluh tahun yang lalu, Kampung Man Barat terserang wabah penyakit yang menyapu seluruh penduduk di sana. Penyakit itu juga akhirnya menyebar ke Kampung Man. Akhirnya baik marga Li dan marga Yang semuanya meninggal, dan kampung-kampung ini pun menjadi terbengkalai.
“Konon menurut legenda, leluhur marga Li dan marga Yang ini memiliki harta karun. Dikarenakan itu keturunan mereka setiap generasi selalu tinggal di sini untuk melindungi harta karun itu. ”
Feiding begitu mendengar “harta karun” matanya langsung bersinar, “Serius ada harta karun?” Gaoyan tersenyum berjawab, “Saya sendiri tidak tahu. Saya lebih memilih percaya. Kalian di sini adalah novelis, pastinya analisa dan daya nalar kalian lebih baik. Siapa tahu kalian mampu menguak misteri dan benar-benar menemukan harta karunnya.”
Dia kemudian melanjutkan “Tadi altar yang kalian lihat itu, disebut Altar Tulang. Altar ini disebut terdiri dari seratus tulang belulang, sangat-sangat sakral.
Xiaoyao ikut nimbrung percakapan dan berkomentar, “Saya malah merasa seram.”
Otak Feiding yang sekarang dipenuhi dengan “harta karun” berkomentar, “Kalau saya benar-benar mendapat harta karun, saya bakal menulis buku ketiga.” Kami semua berkomentar dia gila kerja. Laojiu ikut berkomentar, “Duh kalau menulis novel beginian, penjualan sulit sekali.” Kami semua menoleh ke Laojiu. “Ternyata dia lebih gila kerja daripada aku,” ucap Feiding sambil tertawa.
Ketika sedang ramai-ramainya berdiskusi, Xiaoyao dengan panik berkata “Siapa itu?” Kami melihat ada bayangan orang berlari melewati jendela sekilas. Kami pun segera lari keluar mengejarnya. Bayangan tersebut berlari ke belakang gunung. Sesaat, kami melihat dia berlari memasuki gua altar tulang.
Sambil waspada kami perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam gua itu. Setelah berjalan kurang lebih 100 meter, akhirnya kami tiba di ujung gua.
“Aneh! Di sini tidak ada jalan keluar. Bagaimana mungkin orang tersebut bisa menghilang!”
Kami mengecek sekeliling dengan seksama. Memang tidak ada jalan keluar yang lain.
Setelah pasrah kami pun berniat kembali. Tetapi Anran terantuk sesuatu hingga hampir jatuh. Kuaidao mengarahkan senter ke arah lantai. Ternyata di atas tanah terdapat tulang manusia! Dan tulang yang di dekat kaki Anran adalah tengkorak!
Saya, Anran dan Xiaoyao menjerit. Dari mana asal tumpukan tulang-tulang manusia itu?
Bersambung ke bagian tiga. Cerita ini merupakan kelanjutan dari kisah Kampung Man yang pertama.
Leave a Reply