Hai, perkenalkan namaku Lyd. Aku seorang ibu muda sekaligus orang tua tunggal. Usiaku hampir menginjak 35 pada tahun ini.

Perlu kalian ketahui sebelumnya, bahwa aku seorang penderita OCD (Obsessive-Compulsive Disorder). Penyakitku ini sudah kuderita sejak aku SMA. Aku suka merasa risih jika setelah dari tempat manapun, tidak mencuci tangan. Menurutku itu jorok. Siapapun dan di manapun mungkin bersin atau batuk, kemudian memegang suatu benda.

Tanpa kita ketahui, kita memegangnya juga. Aku hanya memiliki seorang anak, yang kini duduk di bangku SMA tingkat pertama. Untungnya dia tidak menuruni OCD ku ini. Meskipun begitu, dari kecil aku sudah membiasakan padanya akan pentingnya menjaga kebersihan.

Anakku bernama Adrien. Dia anak yang aktif di sekolahnya. Setiap pulang sekolah, selalu dia lanjutkan dengan kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya atau sekedar berolahraga bersama teman-temannya di luar rumah. Kadang waktunya dari ia pulang sekolah siang sampai pukul 20 malam. Hal itu tentu membuatku selalu sendirian di rumah. Aku tidak betah sendirian. Oh, dan aku juga tidak memiliki suami. Suamiku sudah pergi meninggalkanku sejak lima tahun yang lalu karena perampokan saat ia pulang kerja.

Jadi, saat itu merupakan hari Kamis yang nahas baginya. Setelah pulang kantor, di tengah jalan ada seseorang yang seolah-olah mengalami kecelakaan motor tunggal. Suamiku itu bermaksud membantunya. Akan tetapi, mereka lalu memanggil kawanannya. Mereka memaksa suamiku untuk menyerahkan uang, jam tangan, tas, termasuk mobil Jaguar kami. Karena suamiku menolak, terjadilah perkelahian kecil di antara mereka berdua, hingga salah satu dari teman perampok tersebut menembak suamiku dan tak sengaja mengenainya.

Alhasil para perampok itu mengambil semua harta suamiku termasuk mobilnya. Dia dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh saksi yang melihatnya. Aku sangat terkejut mendengar hal itu. Adrien saat itu kebetulan sedang menginap di rumah ibuku, jadi aku sendiri yang menjenguknya. Luka akibat tembakan tersebut berujung fatal. Suamiku rupanya tidak bertahan lama, meskipun sudah dioperasi oleh para dokter. Setelah ia koma selama seminggu, ia pun meninggal. Di pemakamannya, aku dan Adrien, sangat tertekan dan sedih.

Kini tidak ada lagi sosok pria yang akan menjaga dan melindungiku dan Adrien di rumah. Ditambah dengan kebiasaanku terkait OCD yang suka merasa khawatir jika belum merasa mengunci pintu rumahku. Tapi semua itu berubah semenjak kemarin.

Sore itu, seperti biasanya aku yang sendirian menunggu Adrien pulang, dikejutkan oleh suara ketukan di pintu depan. Rupanya itu seorang pemuda, entahlah siapa dia, mungkin tetangga baru kah? Usianya kisaran sepuluh tahun dibawahku, dan, dia juga tinggi serta rupawan. Dia memperkenalkan identitasnya kepadaku. Suaranya yang serak-serak basah dan agak berat mulai menggodaku. Kuketahui namanya Gerard.

Dia tinggal tiga blok di belakang rumahku. Alasan dia kemari dikarenakan untuk meminta izin memarkirkan mobilnya di rumahku. Aku membolehkan permintaannya tersebut. Aku juga mempersilahkannya masuk sebentar, namun dia menolak dengan sopan. Aku bilang padanya bahwa tak usah sungkan-sungkan jika ingin menaruh mobilnya di sini. Kami pun saling bertukar nomor telpon via aplikasi online, dengan alasan agar dia dapat menghubungiku kapanpun dia perlu memarkirkan mobilnya, atau bahkan, jika suatu saat dia membutuhkanku.

Beberapa hari, minggu dan bulan pun berlalu. Selama anakku tak di rumah, Gerard selalu memarkirkan mobilnya di rumahku, dan tentunya menemaniku. Kami sudah akrab sejak aku sering berkomunikasi dengannya via chat online, dan tentunya tanpa sepengetahuan Adrien. Aku sudah merasa tidak kesepian lagi saat ini. Aku pun tak peduli ketika tetangga ku melihatku dengan tatapan yang seakan mencibir di belakangku.

Adrien tidak pernah tahu bahwa Gerard masuk ke kehidupanku, bahkan ia juga tidak tahu kalau Gerard selalu menumpang parkir di rumah, karena Gerard hanya datang untuk parkir saat pukul 15 sampai 19 sore. Selebihnya kami saling mengobrol di handphone. Aku belum ada niatan untuk memberitahukan hal ini padanya. Aku takut ia masih belum siap dan masih dilema akan ayahnya. Mungkin juga dia takkan merestui hubungan kami.

Pada suatu malam, malam itu malam Jum’at. Ketika aku sedang di dapur, aku mendengar suara pagar dibuka. Aku mengintip di jendela. Ternyata itu Gerard. Tumben sekali pikirku dia hampir tengah malam begini datang ke rumahku, bahkan kami belum janjian. Aku pun membuka pintu belakang diam-diam dan bertanya padanya dengan alasan apa dia kemari. Dia rupanya ingin menumpang tidur di rumahku, tepatnya tidur bersamaku. Gawat pikirku. Adrien ada di rumah, dan Gerard datang. Aku sempat menegur Gerard mengapa tidak menghubungiku dulu sebelumnya jika mau menginap dirumahku, namun ucapanku seakan dihiraukannya. Aku sebenarnya ingin sekali mengajaknya masuk secara diam-diam. Hasrat ku seakan sudah dijung, namun terkalahkan oleh suatu hal. Di sisi lain aku takut hal itu justru menimbulkan hal yang tak diinginkan terjadi.

Tak lama aku dikejutkan dengan suara Adrien memanggil namaku dari atas tangga, seakan memergokiku sedang berbicara dengan Gerard. “Apa yang sedang ibu lakukan tengah malam begini?” tanya Adrien. “Oh, uhm… aku.. ah.. ibu.. ibu sedang memeriksa pintu nak. Memastikan apakah sudah ibu kunci atau belum.” jawabku. Seketika ku menoleh ke depan, dan rupanya Gerard sudah menghilang entah kemana. Pikirku mungkin dia langsung inisiatif pergi dari rumahku karena takut ketahuan anakku. “Oh. Rupanya hanya kebiasaan ibu saja ya. Aku kira ada seseorang yang datang, larut malam begini.

Suatu saat jika ibu merasa ada orang asing datang,jangan ibu biarkan masuk ya?!” Aku pun mengiyakan saja, dan tak terlalu menghiraukan kejadian malam itu. “Maafkan ibu ya, nak,” ucapku sedih sembari menghampiri Adrien dan memeluknya. Syukurlah Adrien tidak mengetahuinya.

Hal serupa itu terus terjadi, dan uniknya lagi, terjadi setiap malam Jum’at. Dia selalu mengajakku untuk bercinta di kamarku. Aku terus mencari alasan dan cara untuk menolak ajakan Gerard tersebut agar tidak datang malam larut begini. Bukannya aku tidak mencintainya, tetapi aku juga harus menjaga perasaan anakku. Malam yang lain, ketika aku hendak menghampiri pintu untuk membukanya, Adrian membentakku dari belakang. Sial! Bisikku dalam hati.

“Ibu! Sudahlah bu, ibu tidur saja. Ibu kan sudah mengecek pintu rumah sebanyak 3 kali sejak aku pulang tadi. Apakah ibu sudah meminum obatmu malam ini? Aku rasa ibu lupa.” tegur Adrian dengan nada tinggi yang kemudian merendah. Aku pun berbalik dan berkata, “Sudah kok nak. Ibu tidak lupa. Kamu pasti marah ya sama ibu, benci ya sama ibu? Karena penyakit ibu ini?” tanyaku sambil menahan tangis.

“Tidak, bu. Bukannya apa-apa. Namun kebiasaan ibu ini aku perhatikan belakangan agak aneh. Aku sebenarnya tahu..” Belum selesai Adrien berbicara, aku sudah menyangka kalau jangan-jangan dia mengetahui rahasiaku selama ini. “…bahwa ibu mungkin berhalusinasi. Aku memarahi ibu sebenarnya bukan karena ibu sering mengecek berkali-kali pintu rumah, tetapi sebaliknya. Sekarang malah aku yang khawatir dengan ibu, yang seakan kehilangan sifat kehati-hatianmu. Ibu acap kali membuka pintu rumah di larut malam begini. Ibu lupa pesanku?” lanjut Adrien dengan tegas menceramahiku. Apa? Aku berhalusinasi. Jelas-jelas aku berkenalan dengan Gerard, dia memarkirkan mobilnya, kami bersalaman, berbincang online, bahkan sempat berpelukan. Apa benar itu semua hanya ilusiku semata, pikirku.

Pikiranku masih tetap pada pendiriannya bahwa Gerard itu benar-benar nyata. Setelah kejadian malam itu, aku diberikan obat lagi atas saran Adrien pada dokterku. Aku tidak pernah lagi mendengar suara pagar dibuka pada larut malam dan juga jadi mengurangi intensitasku memeriksa sesuatu secara berulang-ulang. Bahkan, akhir-akhir Gerard jadi jarang hadir di kehidupanku, entah mengapa. Mungkin dia sibuk, sehingga dia jarang berkomunikasi lagi denganku, atau mungkin dia marah padaku? Semoga saja tidak.

Dua minggu kemudian, Adrien ada acara di sekolahnya yang mengharuskan dia studi keluar kota selama seminggu. Otomatis aku sendirian lagi. Dengan obat itu, kuharap aku menjadi lebih tenang. Tapi malamnya, ketika aku sedang menonton televisi, dan malam itu masih pukul 22:30, Gerard kembali menghubungiku. Katanya, dia kangen padaku dan ingin sekedar main ke rumah. Dia minta maaf juga karena akhir-akhir ini dia sibuk akan pekerjaannya di luar kota. Aku pun memaafkannya dan mengizinkannya datang ditambah anakku sedang tidak berada di rumah. Tak lama terdengar deru mobil yang terparkir di depan halaman rumahku, bukan di garasi.

Dia menghampiriku dan melepas rindu dengan memelukku erat. Sudah kuduga bahwa Gerard itu benar-benar pria yang nyata. Nyata-nyatanya juga romantis. Dia kemudian menggendongku naik ke lantai atas menuju kamarku dan menaruhku di kasur. Kelihatannya dia akan benar-benar membuktikannya malam ini padaku. Di tengah kemesraan, aku memeluk punggung Gerard, tapi entah kenapa aku merasakan hal yang aneh. Ada banyak bulu di tubuh Gerard yang kusentuh saat kujambak.

“Sayangku Gerard, tubuhmu kenapa berbulu?” tanyaku ngeri. “Memangnya kamu tidak suka?” tanya sosok tersebut yang menurutku sudah bukan Gerard yang kukenal karena suaranya yang terdengar semakin serak, berat dan dalam. Saat kulihat, betapa terkejutnya diriku bahwa yang sedang bersenggama denganku ialah sesosok Genderuwo. Aku pun berlari dengan mengambil kain seadanya untuk menutupi dada dan bagian bawah tubuhku. Aku berteriak keluar rumah meminta tolong kepada tetangga sekitar. Warga pun berhamburan keluar dan menolong diriku yang hanya berbalut kain. Mereka lalu menenangkanku dan mengamankanku di salah satu rumah mereka. Aku pun lalu berterima kasih kepada mereka semua yang rupanya sudah sangat baik terhadapku.

Penulis: Adam R