“Ismail! Coba cari Pak Andre! Cepat! Atau tanya nomor teleponnya ke Pak Lukman” teriak saya sambil berlari ke arah ojek pangkalan. Saya menjelaskan secara singkat apa yang dibilang Felix dan sehabis itu menutup handphone. Di situ hanya ada satu ojek saja. Setelah dipikir-pikir, saya rasa lebih baik Daniel saja yang menemui Ismail. Mereka harus secepatnya menemui Pak Andre.

“Daniel, kamu yang pergi temui Ismail saja. Dia ada di depan halte yang dekat mal yang biasa kita pergi. Lo segera ke situ, cerita semuanya ke Pak Lukman,” saran saya ke Daniel.

Daniel setuju. Lagipula dia merasa saya lebih baik tetap bersama Felix saja. Daniel masih belum percaya sepenuhnya kepada Felix. Bagi Daniel siapa pelakunya bukan yang terpenting. Keberadaan Doris adalah yang paling utama. Jadi mencari Pak Andre memberi dia lebih banyak opsi.

Daniel dan ojek yang ditumpanginya berlalu. Saya berbalik arah menuju ke tempat kursus matematika Felix kembali.

Pak Andre harus segera ditemukan. Jika dia tidak muncul lagi, dikhawatirkan dia benar-benar adalah penculiknya. Ketika kita berpisah dia bisa melakukan apa saja, apa pun itu juga. Dia bisa saja memindahkan Doris ke tempat lain yang lebih tersembunyi, menghilangkan jejak, menghanguskan barang bukti, atau… Ah tidak penting! Saya lebih khawatir jika dia tidak akan menampakkan dirinya lagi. Apa yang akan kami lakukan jika dia kabur?

Tetapi kalau dia kabur, sepertinya aneh saja. Apa motifnya. Uang? Dendam? Atau … nafsu? Semua yang diculik katanya adalah perempuan… Ugh, saya tidak berani berpikir ke arah sana.

Namun jika ternyata Pak Andre berkumpul kembali dengan Ismail dan Pak Lukman, setidaknya mereka bisa cross-check dengan Pak Andre tentang pernyataan dari Felix. Atau paling bagus, kalau Pak Lukman bisa menahan Pak Andre sampai kita ada titik terang mengenai.

Bagaimanapun juga sekarang yang paling tahu banyak adalah Pak Andre. Tetapi orang yang paling mencurigakan dari awal bagiku juga adalah Pak Andre.

Saya sudah sampai di depan kursus matematika. Tidak terlihat Felix di situ. Mungkin sudah mulai jam kursus? Saya lihat jam di handphone menunjukkan 15.24.

Sebetulnya entah mengapa hati saya juga merasa tidak tentram dengan Felix. Sepertinya ada sesuatu yang tidak benar dengannya. Entah apa itu. Mungkin ini gara-gara omongan Pak Andre soal Felix. Tetapi saya merasa ada sesuatu yang lain.

Saya merasa seperti orang bego, berdiri di luar tempat kursus. Dari Daniel maupun Ismail belum ada yang kabari apa-apa. Tiba-tiba seorang mbak-mbak mengajak saya masuk ke dalam saja.

“Duduk dalam saja,” tawar dia dengan ramah.

Karena pintu depan adalah pintu kaca, mbaknya melihat saya dari tadi berdiri di luar terus. Ternyata dia adalah resepsionis tempat kursus sini. Mungkin kasihan, mungkin juga dia sedang mencoba mengajak saya gabung kursus ini.

“Biasanya yang diajarkan itu selalu trik-trik untuk menyelesaikan soal matematika. Istilahnya kami ajarkan cara tergampang untuk memecahkan soal,” ujarnya santai.

Saya hanya angguk-angguk. “Biasanya kursusnya kapan saja?”

“Biasanya sore. Tergantung kelasnya. Kalau harinya, antara Senin, Rabu, dan Jumat. Kalau gak Selasa, Kamis, Sabtu.”

“Oh tapi saya males kalau harus masuk sore-sore.”

“Emang kamu kelas berapa? ” tanya resepsionisnya.

“Kelas 10.”

“Owh, kalau kelas 10, biasanya pilihannya di jam 17.00 atau jam 18.00 sih.”

“Ooh begitu…”

Hm, jam segitu saya juga agak malas. Mungkin sebenarnya saya hanya malas kursus saja sih. Tetapi tiba-tiba saya teringat kembali mengapa saya di sini.

“Mbak, tadi mbak bilang kelas 10 di sini adanya jam berapa?”

“Jam 5 atau jam 6 sore. Cuman dua pilihan itu.”

“Gak ada yang jam 3 sore?” Jantung saya berdegup kencang.

“Jam 3 itu untuk anak-anak SMP.”

“Yakin Mbak? Gak ada anak kelas 10 atau SMA jam 3?”

“Iya. Emang kenapa?”

“Mbak tahu yang namanya Felix?”

“Hm, di sini sepertinya gak ada siswa yang namanya Felix,” ujar resepsionisnya sambil pikir-pikir.

“Mbak tadi ada lihat cowok, berkacamata? Yang dihajar di luar?”

“Oh.. Iya iya.. Tadi ada yang berantem di luar yah. Saya lihat dari dalam. Emang kenapa tadi? Itu temanmu?”

“Dia anak kursus sini kan? Cowok yang pakai kacamata, yang dihajar itu. Namanya Felix. Felix yang itu.”

“Oh… Tapi sepertinya dia bukan anak sini. Saya walaupun gak kenal semua siswa. Saya gak pernah lihat dia di kursus ini. Tapi saya bisa salah juga sih.”

“Mba, sekarang yang lagi les itu kelas apa saja.”

“Hm.. Kalau sekarang sih kelas 8 dan 9. Tapi kena… Hei kemana kamu!”

Saya tidak mau percaya apa yang dia omong. Saya langsung berlari ke atas dan melihatnya sendiri. Felix pasti ada di situ. Tempat kursusnya ada di lantai 2 dari yang saya pantau. Di lantai dua, hanyalah lorong kecil, dengan kiri kanan adalah ruangan. Hanya ada dua ruangan yang terdapat sinar lampu keluar dari sela-sela gorden. Saya langsung membuka pintu pertama dan melihat seisi ruangan. Sang pengajar dan siswa secara otomatis menoleh ke saya. Tetapi saya tidak peduli. Mbak resepsionis berhasil sampai ke lantai dua. Dia segera menarik tangan saya keluar. Tetapi dia tidak cukup kuat untuk itu. Saya memerika satu per satu siswa. Tidak ada Felix di ruangan itu.

Saya langsung lanjut ke ruangan satu lagi, tanpa mengindahkan protes mbaknya. Sama saya membuka. Semua wajah-wajah asing melihat saya keheranan. Jantung saya yang dari tadi berdebar-debar, serasa kini berdetak lebih keras lagi.

Tidak ada Felix.

Saya menutup pintu lagi. Mbak Resepsionisnya menarik saya turun ke bawah sambil marah-marah. Kali ini saya membiarkan dia menarik saya. Pikiran saya kosong. Ocehan mbak resepsionis hanya terdengar seperti suara dengungan. Hanya emosi, kalut, galau yang menyelimuti pikiran saya.

“Tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam saya yang sudah duduk kembali di depan meja resepsionis.

Saya harus segera telepon ke Ismail atau Daniel! Belum sempat saya menekan tuts, panggilan telepon dari Ismail datang! Buru-buru saya angkat.

“Ismail! Ismail! Felix menipu kita. Dia tidak pernah kursus di sini! Kita harus segera cari dia!” ujar saya langsung tanpa memberi waktu ke Ismail cerita.

“Tenang, tenang. Dengar kamu omong begitu, berarti apa yang dibilang Pak Andre barusan benar. Pak Andre barusan cerita panjang lebar ke gua ama Daniel. Jef, kamu bisa coba cari Felix di sekitar komplek tempat kursus situ? Menurut dugaan Pak Andre, ada kemungkinan Felix sengaja ajak kita ketemu di tempat kursus, karena sebetulnya dia tadinya ada di daerah situ.”

“Mak, maksudmu. Felix sudah di sekitar tempat kursus dari siang sampai sore sebelum kita telpon?”

“Iya! Kamu coba cari tempat di sekitar sini. Kami sekarang dalam perjalanan ke situ. Mungkin 15 menit lagi akan sampai di sana!” ujar Ismail.

“OK! OK! Cepatlah. Saya akan coba cari dulu.”

“Sip! Hati-hati!”

Saya menutup telepon. Mbak Resepsionisnya terlihat penasaran. Mungkin tadi saya berbicara dengan tegang sekali. Dia juga sudah tidak terlihat marah.

“Mbak! Tahu tidak di sekitar sini apakah ada tempat sepi, atau rumah kosong dan sebagainya?”

“Ada apa sih? Dari tadi kamu tanya yang aneh-aneh terus. Cerita dulu dong, biar saya bisa bantu.”

“Gak ada waktu mbak. Ada gak? Rumah kosong atau sejenisnya?”

Saya asumsi, jika Felix adalah penculik, dia akan menggunakan rumah kosong. Bukankah itu yang sering dilakukan penjahat?

“Gak ada sih. Gak ada tempat kosong di sini.”

Saya kehilangan arah. “Oh ya, cowok yang kacamata itu. Mbak lihat gak. Setelah kami pergi dia ke mana?”

“Oh, kebetulan saya lihat. Kalian tadi ke seberang kan? Setelah kalian pergi. Dia berjalan ke arah kiri. Saya gak tahu sih, ke mana.”

“Ok, makasih Mbak!” Saya langsung berlari ke luar, dan ke kiri.

Dari kiri sederet jalanan ruko-ruko berjejeran. Tidak ada gang kecil. Rata-rata ruko-ruko ini lantai dasarnya adalah toko atau kantor. Tetapi juga ada sebagian lagi yang tertutup, tidak dijadikan apa-apa. Jika Felix benar berada di sekitar sini, berarti dia harusnya ada di antara ruko-ruko yang lantai dasarnya tidak buka?

Saya menanyakan satu per satu toko atau kantor yang buka, apakah melihat cowok berkacamata. Tetapi mayoritas tidak ada yang melihatnya. Saya tidak ada petunjuk sama sekali, sampai akhirnya saya tiba di sebuah toko.

“Ya? Ada yang bisa dibantu?” tanya salah satu penjaga toko bangunan ramah.

“Maaf, mau tanya tadi ada melihat cowok, tinggi segini, kacamata yang lewat?”

“Oh.. kebetulan saya ada lihat. Wajahnya agak memar. Baju birukan kalo gak salah?”

“Ah ya! Ya! Dia. Di mana dia?”

“Saya kadang melihat dia. Kalau gak salah dia sih tinggal di ruko yang situ,” ujar sang penjaga sambil menunjukkan ke ruko yang tertutup di seberang.

“Yang kiri atau yang kanan yah?” soalnya di situ ada dua ruko yang tertutup.

“Hm, kurang ingat. Coba saja ke situ ketuk pintunya.”

“Ok, terima kasih banyak yah.”

Ketika saya berjalan mendekat, ternyata ruko di sebelah kiri tidak tertutup rapat. Pintu toko ini menggunakan pintu besi lipat yang cara tutupnya adalah dengan cara menggeser pintu bagian kiri dan kanan ke tengah. Mungkin karena tergesa-gesa, pintu itu tidak ditutup dengan sempurna. Jadi dengan sedikit hentakan seharusnya bisa saya buka paksa pintu itu. Saya melihat kiri kanan, tidak ada orang, lalu mulai beraksi. Dan betul saja, sekali tarikan, pintu besinya terbuka. Saya memberanikan diri buka ruko. Kalaupun ternyata salah rumah, saya nanti berdalih sedang nyasar saja.

Sebelum masuk, saya memperhatikan nomor ruko ini. Lalu kirim pesan singkat ke Ismail.

Di dalam, saya melihat tidak ada siapa-siapa. Dan juga tidak apa-apa di sini. Kosong. Selain sebuah pintu di bagian belakang. Jadi saya berjalan menghampiri pintu dan mendorong. Pintunya tidak terkunci. Lantai satu juga kosong. Hanya terlihat sebuah ruangan seperti untuk gudang dan toilet di sudut kanan. Dan sebuah tangga menuju lantai ke atas. Saya memutuskan naik.

Setiap langkah saya penuh hati-hati. Saya agak gugup, soalnya ini pertama kalinya memasuki rumah orang asing. Tetapi karena penasaran dan menyangkut keselamatan Doris, saya memaksakan diri.

Di lantai dua lebih terang. Cahaya matahari masuk lewat jendela yang terbuka. Dan ada pemandangan yang sangat menyeramkan di hadapan saya.

Gambar pola seperti tipikal lingkaran yang dibuat tukang sihir, tergambar di lantai keramik. Kelihatannya digambar dengan spidol. Saya berjongkok dan meneliti gambar itu. Lingkaran itu berdiameter kurang lebih satu meter. Terdapat tulisan atau simbol-simbol aneh di sekelilingnya. Ada yang berwarna hitam ada yang berwarna merah. Di beberapa bagian lingkaran ada bekas lilin. Di saat sedang mengecek, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Buru-buru saya berlari ke tangga kembali dan segera mengambil posisi di tempat orang tidak bisa lihat.

Memang saya juga tidak bisa melihat, tetapi setidaknya saya bisa mendengar. Mendengar suara langkah kaki orang. Dan juga suara seperti orang diseret.

“Emh… Emh!!”

Ada orang dibekap! Saya rasa berada di tempat yang benar!

Kalau menunggu yang lain datang, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Dan toh, Felix hanya seorang diri. Saya buru-buru naik dan mencegah saja semua kegilaan ini.

“BERHENTI!” Saya berteriak sekencang-kencangnya sambil naik ke lantai dua kembali.

Ada dua orang di sana. Satu perempuan dalam keadaan terikat dan mulut disumpal.

Itu Doris!

Sekejap seperti ada beban yang terlepas dari badan saya. Sedangkan satu orang lagi. Orang yang menyeret Doris. Dia… Dia adalah adalah perempuan? Perempuan itu terlihat paruh baya. Pakaian serba hitam seolah-olah ingin melakukan ritual. Namun pertanyaannya, ke mana Fel..

Tiba-tiba kepala saya pusing sekali. Sepertinya dipukul sesuatu. Pandangan saya menjadi tidak fokus. Sempat gelap beberapa saat. Namun untungnya terang kembali, walau mulai banyak kunang-kunang di pandangan. Kaki saya lemas. Badan ini pun langsung roboh bagaikan sebuah patung yang tidak berdaya.

Saya dalam keadaan tergeletak dan tidak bisa bergerak. Antara sadar dan tidak sadar. Samar-samar terlihat ekspresi histeris Doris yang disekap. Mungkin syok melihat saya tumbang?

“Siapa itu…” perempuan asing itu bertanya ke seseorang yang berdiri di belakang saya.

“Teman. Teman sekolah,” jawab orang di belakang.

“Sial, kenapa teman-temanmu itu selalu ganggu saja. Sudahlah ayo cepat kita selesaikan ritual ini.”

“Ba..Baik.”

Saya melihat perempuan itu mengambil sebilah pisau dapur. Apa.. Apa yang dia lakukan? Pisau itu pertama-tama dia gores ke telapak tangan Doris. Darahnya langsung mengalir deras.

“Hen…ti..ka.” saya mencoba menghentikan perempuan itu. Tetapi saya tahu itu percuma karena saya hanya tergeletak di situ tanpa bias apa-apa. Kesadaran saya juga semakin lama semakin pudar.

“STOP!!” Sebuah suara yang familiar terdengar. Beberapa saat saya melihat Pak Lukman dan Pak Andre berlari ke arah perempuan itu dan langsung merebut pisau dari tangan perempuan itu. Tidak lama Ismail berjongkok di depan saya dengan kelihatan sangat was-was.

“Jef! Jefri, kamu gak apa-apa?”

Dan saya tidak tahu apa-apa lagi….

 

Saya malam harinya sudah siuman kembali. Ibu saya sudah di samping. Dia terlihat sangat lelah.

“Oh, kamu sudah sadar. Kamu gak apa-apa kan?”

“Tidak..”

Ibuku langsung meminta perawat yang di luar, untuk mengabari dokter kalau saya siuman. Dan selanjutnya saya diperiksa dokter kembali. Dokter menyinari mata saya kiri dan kanan dengan lampu senter. Dia bilang sementara kondisi saya tidak ada indikasi berbahaya. Hanya saja, nanti akan ada beberapa tes lain untuk betul-betul memastikan semuanya baik-baik saja.

Ternyata saya dihantam kayu dari belakang. Jadi saya mengalami geger otak. Tapi untungnya dari hasil X-Ray tidak ada pendarahan dalam otak. Setelah sedikit pemeriksaan sebentar, saya disuruh istirahat kembali saja. Saya juga meminta Ibu pulang ke rumah istirahat saja. Karena saya tidak apa-apa. Tetapi beliau tetap mau di sini.

 

Beberapa hari kemudian Ismail dan Daniel datang menjengukku di rumah sakit. Daniel beli banyak sekali buah. Katanya biar saya cepat sembuh. Ismail langsung cerita bahwa saya sangat berjasa. Karena jika sampai saya tidak menemukan ruko itu, nyawa Doris mungkin sudah tidak ada. Tetapi tentu saja, nyawa saya sendiri yang menjadi taruhan.

Tentu saja saya penasaran apa sebetulnya yang terjadi. Jadi Ismail pun dengan senang hati menceritakan kembali, apa yang tidak saya ketahui saat itu.

Pak Andre saat suruh berpencar dia sibuk mencari di jalanan juga. Tetapi saat itu dia mendapat ide. Dengan asumsi Felix yang menculiknya, maka ada kemungkinan tempat penyekapan ada di rumahnya. Atau terkait rumahnya. Jadi dia memutuskan untuk coba sekali lagi pergi ke rumah Felix dengan ojek.

Pada saat dia ke sana, ternyata tidak ada orang selain pembantu yang jaga rumah. Pembantu itu bilang nyonya (ibu Felix) sedang keluar. Pak Andre pun mencoba menggali lebih banyak dari pembantu. Misalnya apakah Felix ada membawa gadis ke rumah, atau sesuatu yang aneh. Tentu saja tidak ada.

Tetapi Pak Andre mendapat info menarik. Bahwa ibunya Felix, sedang pergi ke rumah mereka yang satu lagi. Pembantu kadang-kadang harus ke rumah kosong itu untuk bersih-bersih. Rumah itu menurut bahasa si pembantu, “aneh” dan “seram”. Si pembantu ngotot tidak mau memberi tahu alamat pasti rumah itu, karena takut dimarahi nyonya.

Dari situlah Pak Andre mendapat info rumah. Jauh sebelum saya pergi. Ketika berkumpul kembali, ternyata Daniel sudah berada di situ. Daniel yang tidak percaya Felix, sengaja diam-diam merekam pembicaraan antara kami dengan Felix. Dari situ Pak Andre setelah mendengar rekaman itu dia mendapat bukti kuat Felix adalah pelakunya.

…Dan lagi, kalian bilang Pak Andre yang menemukan foto Doris di toilet belakang. Jadi…

Di dalam rekaman, Felix ternyata menyebut sesuatu yang tidak mungkin dia tahu kalau dia bukan pelaku. Dari awal penjelasan saya mengenai foto ke Felix, tidak pernah saya singgung foto itu ditemukan di mana. Tetapi Felix bisa dengan tepat bilang foto itu diambil dari toilet belakang sekolah. Setelah memastikan itu, Ismail langsung telepon ke saya untuk segera cari di sekitar rumah situ. Karena besar kemungkinan rumah kosong keluarga Felix ada di sekitar situ.

Pada menit-menit terakhir, mereka mendapat pesan singkat saya mengenai ruko kosong sehingga bisa langsung menuju ke sana. Pada saat sampai di situ, saya sudah tergeletak dengan kepala berdarah, tangan Doris berdarah-darah, Felix sedang memegang tongkat kayu dengan bercak darah. Dan ibu Felix dengan pisau dapur berlumuran darah. Situasi betul-betul kacau.

Dalam waktu singkat Pak Andre menahan ibunya Felix, Pak Lukman langsung menghubungi pihak berwajib. Saya dan Doris langsung di bawa ke rumah sakit.

“Wah, tak disangka ternyata yang melakukan penculikan selama ini adalah mamanya Felix,” ujar saya.

“Iya. Pelaku utama adalah mama Felix. Felix hanya membantu. Termasuk kasus Doris. Felix ajak Doris ke ruko kosong, di situ mamanya sudah siap menunggu. Jadi dua orang menyekap dia. Saat mereka sedang sibuk mempersiapkan ritual, untungnya kalian telepon ke Felix untuk minta ketemu. Dia terpaksa bertemu agar kalian tidak curiga. Tetapi itu cukup waktu untuk selamatkan nyawa Doris,” jelas Daniel tersenyum.

“Iya. Emang seremnya. Soalnya mereka tangkap gadis-gadis untuk ritual persembahan. Lo waktu itu sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi pas kami masih di lokasi kejadian, saat mamanya Felix ditahan, dia histeris banget. Dia bilang akan ada malapetaka datang,” cerita Ismail.

“Iya. sepertinya lokasi di belakang rumah sakit itu bukan lokasi biasa. Belakangan dari hasil interogasi, dengar-dengar mamanya Felix bilang lokasi belakang sekolah kita adalah lokasi sakral. Tetapi malah dibangun sekolah dan parahnya bagian situnya dibangun toilet. Makanya daerah situ selalu tidak pernah tenang,” lanjut Daniel.

“Terus mengapa harus dengan ritual yang sampai mengorbankan nyawa?” Tanya saya penasaran.

“Mama Felix hanya bilang itu untuk keselamatan bersama. Keselamatan seluruh kota ini. Selama ini kota kita bebas dari bencana berkat ritualnya. Jika ritual berhenti, malapetaka akan datang,” jelas Ismail.

“Sinting…” gumam saya.

“Iya. Dan Pak Andre juga bilang kemungkinan mama Felix mengidap skizofrenia. Katanya kemampuan Felix yang bisa melihat makhluk halus juga mungkin gejala skizofrenia ringan. Mungkin memang gen keluarga mereka ada kecenderungan skizofrenia,” tambah Daniel.

“Oh ya, terus Felix bagaimana?”

“Dia juga ditahan. Tetapi karena di bawah umur, sepertinya akan lebih ringan. Lagipula selama ini dia hanya mendengar perintah mamanya. Dia mungkin bisa dihukum lebih ringan, dan hanya dikirim ke sekolah luar biasa saja.”

“Ooh.. Kasihan juga yah.”

“Untuk orang yang kepalanya hampir dipecah oleh dia, saya cukup salut hati besar kamu,” celutuk Daniel.

“Tentu saja. Selama ini dia hanya membantu ibunya. Jadi bukan salah dia sepenuhnya bukan?”

“Menurut kalian soal pernyataan ibunya bener gak yah?” tanya Ismail.

“Hm… Saya rasa sinting sih. Itu orang tidak waras. Gak usah dipikirkan. Bahaya mengancam satu kota. Apaan itu,” ujar Daniel.

Saya juga rasa tidak mungkin. Bisa bahaya apa yang bisa mengancam seisi kota? Kemampuan Felix yang bisa melihat hantu apakah itu skizofrenia atau memang kemampuan mungkin tidak akan kami ketahui. Saya rasa hanya waktu yang dapat memberikan jawaban, apakah mama Felix benar atau tidak.

Namun, kalau ternyata mamanya benar, bisakah kami selamat?

(Tamat)


Tak terasa cerita bersambung kali selesai juga. Untuk cerita ini mungkin ada beberapa bagian yang belum sengaja dijelaskan, seperti kejadian-kejadian mistis di toilet pada masa sekolah Pak Andre apakah itu ulah usil anak-anak atau memang angker? Apa tujuan foto ditaruh di dalam toilet tua itu? Sebetulnya hantu yang dilihat Felix, itu adalah benar hantu atau hanya khayalan?

Dan mungkin masih ada beberapa pertanyaan lagi. Biarlah kalian menebak-nebak yah :D

Siapa tahu nantinya akan ada cerita spin-off untuk empat sekawan kita ini di lain waktu untuk memecahkan misteri-misteri di atas. (Toh mereka masih ada 3 tahun di sekolah situ). Terima kasih sudah membaca cerita sederhana dari saya :)