Salam lestari !! Kali ini saya ingin berbagi pengalaman yang terjadi di tahun 2008 bulan Desember. Barang kali bisa menjadi pelajaran untuk kita semua untuk lebih memikirkan keselamatan.

Hari itu aku dan sepupuku Alfin, berencana mendaki Gunung Ciremai untuk pertama kalinya setelah sebelumnya kami mendaki Gunung Salak dan Gunung Sumbing. Kebetulan kami mempunyai teman orang Kuningan, Irma namanya. Kami bertemu Irma di sebuah konser musik underground di daerah Bekasi.

Setelah pergi ke warnet untuk memcari info mengenai Gunung Ciremai (maklum HP kami dulu masih merek E*ia). Berangkatlah kami dari Jakarta menuju Kuningan yang sebelum sudah mengontek Irma dan dia setuju untuk menemani kami mendaki.

Singkat cerita sampailah kami di terminal Kuningan sekitar jam 5 sore dan Irma sudah menunggu kedatangan kami bersama temannya Hendra, lalu langsung menuju rumah Irma yang ternyata tepat berada di kaki Gunung Ciremai tapi lucunya meskipun tinggal di kaki Gunung Ciremai, Irma dan Hendra sama sekali belum pernah mendaki Gunung Ciremai mungkin karna mereka bukan pendaki seperti kami.

Setelah puas ngobrol panjang lebar kami memutuskan untuk mulai pendakian tanpa pamit ke ibu Irma karna ibu Irma pergi ke masjid dan katanya Irma sudah biasa pergi tanpa berpamitan.

Kami menuju pos perizinan terdekat. Tapi Hendra menyarankan kami tidak perlu ke pos perizinan dengan alasan dia orang kampung sini. Aku dan Alfin akhirnya menurut saja.

Aku mengeluarkan kompas sebagai patokan arah yang memunjukan puncak ada di arah timur. Perjalanan di mulai Hendra memimpin perjalanan melalui ladang-ladang warga dan menembus hutan pinus yang dipenuhi semak belukar yang ditebas Hendra menggunakan parang yang dibawanya dari rumah Irma dan ternyata langsung tembus ke jalur utama via Palutungan tepatnya sebelum pos 3 Pangguyungan Badak dan terus mendaki hingga pos 4 setelah menemukan lahan datar kami memutuskan membuka tenda di sekitaran pos 4.

Setelah ngopi dan makan cemilan kami memutuskan tidur tapi karna tenda yang kami bawa hanya cukup untuk 2 orang akhirnya aku dan Hendra memutuskan tidur di depan tenda. Sial malam itu mataku belum juga bisa terpejam kulihat jam di tanganku menunjukan pkl.00.30 aku memutuskan untuk duduk dan menyalakan sebatang rokok, kulihat Hendra yg sudah masuk ke alam mimpi ditandai dengan dengkurannya dan tiba-tiba suara seperti orang berjalan dari semak-semak di depan ku.

Tiba-tiba saja aku jadi merinding lalu kusorot senter ke arah semak-semak dan terlihat sosok seperti nenek-nenek bungkuk mengenakan kebaya berjalan dengan tongkat menuju ke arahku. Langsung kubuang rokok di tanganku dan masuk kedalam tenda membangunkan Alfin untuk bertukar posisi tapi tidak mengatakan kalau aku baru saja melihat nenek-nenek.

Pagi pun tiba setelah sarapan kami melanjutkan perjalanan menuju puncak, tapi tak satu pun pendaki yang kami temui di disepanjang perjalanan hingga puncak. Mungkin karna waktu itu hari kerja. Akhirnya sekitar 6 jam perjalanan kami tiba di puncak dan tidak ada orang sama sekali. Sekitar setengah jam di puncak barulah ada 1 rombongan dari Bandung berjumlah 6 yang gabung bersama kami dan berkenalan. Di tengah obrolan aku menanyakan keberadaan bunga edelweis di gunung ini. Dan setelah dijelaskan kami pun bergegas pergi menuju ladang edelweis sekalian turun.

Sampai lah kami di ladang edelweis, Irma dan Hendra ternyata baru pertama kali melihat bunga itu. Aku dan Hendra pun dengan sotoy menjelaskan tentang bunga edelweis dan segala mitosnya .

Puas berada di ladang edelweis, kami kembali melanjutkan perjalanan untuk turun waktu itu sekitar pukul 15.00 lalu tibalah kami di persimpangan Linggarjati dan Palutungan. Kami ambil jalur menuju Palutungan hingga hari mulai gelap kami belum juga menemukan jalur yg sama yang kami lewati waktu naik tapi kami masih belum berpikiran macam-macam karena kami pikir memang jalur utama via Palutungan masih jauh akhirnya sekitar pkl.19.00 kami memutuskan membuka tenda lalu melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Pagi tiba sekitar pkl.06.00 kami mulai melanjutkan perjalanan turun hampir 3 jam kami berjalan tapi belum juga menemukan jalur yang kami lalui waktu naik. Anehnya lagi ada seekor kadal yang terus mengikuti kami entah sejak kapan. Aku mulai cemas saat itu dan yakin bahwa kami tersesat karna jalur yang kami lewati terputus hanya ada semak bekar setinggi 1 meteran di depan kami.

Kami pun berhenti dan berunding apakah akan di lanjutkan terus turun atau kembali ke puncak akhirnya diputuskan kami semua kembali ke puncak.

Kadal itu terus mengikuti kami. Karna penasaran, Hendra mencoba mendekati kadal itu dan menghentakan kaki tepat didepannya. Tapi kadal itu tetap tidak pergi seolah menantang Hendra. aAlfin pun menyarankan kami tetap berjalan tanpa menghiraukan kadal tersebut.

Hingga sore hari, kami belum juga keluar dari hutan yang didominasi pepohonan besar. Aku pun mencoba mengikat tali rapia biru ke sebuah yang memang selaluku bawa setiap pergi mendaki sebagai tanda. Dan anehnya kami selalu kembali melewati tanda yang kupasang tersebut, ditambah kadal yang masih terus saja mengikuti kami.

Haripun telah gelap. Kami kembali membuka tenda dan membuat santap malam, untuk persedian bekal kami masih lumayan banyak terutama biskuit. Air yg kami bawapun masih lumayan banyak. Satu dirigen air 5 liter juga masih utuh.

Puas mengisi perut kami memutuskan untuk tidur suasana kali ini begitu hening tidak ada suara binatang hutan sama sekali seperti biasanya. Aku pun mulai terlelap di luar tenda hingga tiba-tiba Hendra membangunkan aku karna dia melihat cahaya seperti cahaya senter, tanpa membangunkan Alfin dan Irma. Kami langsung berlari ke arah cahaya yang jaraknya kira-kira 200m sambil berteriak sekeras mungkin.

Sepertinya mereka tidak mendengar teriakan kami dan terus saja berjalan tapi kami terus berlari ke arah sumber cahaya. Terbersit sedikit harapan dalam hati untuk keluar dari hutan ini. Bukannya pertolongan yang kami dapat, Hendra justrus terperosok jatuh ke dalam lubang sedalam kurang lebih 4 meter.

Lebih mengejutkan lagi ternyata sekitar 10 meter dari lubang tersebut adalah jurang yang entah berapa puluh meter dalamnya dengan kata lain cahaya panjang mirip sorotan senter itu bukan berasal dari manusia karna melayang melewati jurang jika saja Hendra tidak terperosok ke dalam lubang mungkin kami berdua sudah masuk ke dalam jurang.

Aku segera kembali menuju lubang di mana Hendra lalu kusorot Hendra dengan senter di tanganku untungnya dia tidak mengalami cidera serius. Kusuruh dia menunggu sebentar lalu aku kembali ke tenda untuk membangunkan Alfin dan mengambil tali webbing . Akhirnya Hendra bisa kami angkat naik tapi sayangnya pinggul hendra robek sekitar 5 cm, aku dan Alfin segera merangkul Hendra menuju tenda dan segera mengeluarkan kotak P3K untuk mengobati luka di pinggul Hendra .

Belum kelar mengobati luka Hendra, tiba-tiba saja Irma terbangun dan teriak-teriak histeris dengan mata yang melotot tapi suaranya terdengar seperti suara nenek-nenek dengan bahasa bahasa Kuningan yang menurut Hendra dia bilang “Mau apa kalian datang ke sini.”

Kami bertiga meminta maaf dan meminta agar nenek itu keluar dari tubuh Irma tapi Irma tetap saja berteriak sambik sesekali tertawa cekikian. Kami membaca doa yg kami hafal tapi tidak menunjukan perubahan apa-apa.

Karna kesal aku menyuruh Alfin dan Hendra untuk memegang Irma dengan erat dan aku menduduki kedua kaki Irma dan menggigit jempol kami Irma, teriakan Irma perlahan mulai melemah hingga akhirnya benar-benar sadar. Aku pun langsung memberinya minum lalu Irma bercerita bahwa ia bermimpi dibawa nenek-nenek ke suatu tempat di dalam goa.

Kami semua mulai panik dan berpikir kami tidak akan bisa keluar dari hutan yang aneh itu . Pukul 02.00 aku memutuskan untuk sholat tahajud (jujur sebelumnya sholat wajib pun jarang aku kerjakan ). Mereka bertiga pun ikut melaksanakan sholat tahajud dengan wudhu air yg ada dalam derigen yang kami bawa. Kami berdoa agar bisa keluar dari hutan ini dan jika pun kami harus mati kami pasrah.

Suasana menjadi haru saat tanpa sadar kami berempat meneteskan air. Setelah sholat dan bersholawat kami kembali memutuskan untuk tidur dan melanjutkan perjalanan saat hari sudah terang.

Sekitar pukul 08.00, kami bertiga bangun kecuali Hendra yang masih terlelap. Saat Alfin menyentuh badan kepala Hendra badannya terasa sangat panas. Mungkin karna luka di pinggulnya. Setelah sarapan, kami memulai kembali perjalanan ke atas dengan sangat lambat karena kondisi Hendra cukup menghawatirkan saat itu.

Satu jam berjalan kami tiba di tanah datar yg cukup luas dan beristirahat, Alfin berjalan sendiri untuk mencari arah, setelah setengah jam ia kembali dan berkata bahwa ia melihat perkampungan di arah utara. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan turun ke arah utara.

Stok air kami hanya tersisa 2 botol ukuran 600ml. Sebelum gelap, kami harus sudah sampai di perkampungan yang Alfin lihat. Empat jam sudah kami berjalan tapi perkampungan yang Alfin lihat di atas belum juga ketemu. Sialnya tanda tali rapia yang aku pasang jauh di bawah.

Kembali kami lewati padahal kami telah berjalan sangat jauh ke arah puncak dan berjalan berlawan dari arah yang kami pasang tanda.

Aku sudah berpikir akan mati di gunung ini. Tapi keluarga dan teman-teman di Jakarta membuatku tetap optimis kalau aku bisa keluar dari hutan ini. Hari pun kembali gelap kami masih berada di hutan yang didominasi pohon pohon raksasa. Kami kembali membuka tenda dan mengisi perut lalu tidur. Kali ini aku dan Alfin yang tidur di luar tenda.

Tapi sepertinya Alfin tidak bisa tidur entah apa yang ia pikirkan. Ia hanya memejamkan mata sambil membaca-baca doa seperti orang yang ketakutan tapi tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku pun terus mengamati Alfin sambil sesekali melihat sekitar. Lalu Alfin bangun dan menyuruh kami untuk melanjutkan perjalanan.

Saat itu kira-kira pukul 21.00 aku menganjurkan Alfin untuk melanjutkan perjalanan saat terang tapi Alfin tetap bersikukuh ingin melanjutkan perjalanan. Akhirnya kami semua menuruti kemauan Alfin karena kami takut Alfin melihat sesuatu yang bisa membahayakan kami.

Dengan perasaan yang bingung kami mengikuti Alfin kembali ke arah atas hingga kembali bertemu dengan tanah datar yg kami temui tadi siang. Anehnya siang tadi kami berjalanan sekitar 7 jam dari tanah datar hingga sampai ke tempat kami membuka tenda, kali ini hanya butuh waktu sekitar 30 menit kami sampai tempat itu. Kami terus berjalan dari area tanah datar lalu kembali turun ke dalam hutan tapi kali ini Alfin mengambil arah timur menembus kegelapan.

Entah apa saja yang telah kami lewati karna sumber cahaya hanya dari senter yang berada di tangan Alfin hingga sekitar 2 jam perjalanan kami telah keluar dari hutan dan terlihat jelas lampu-lampu dari rumah warga sekitar dari kejauhan. Hingga menemui ladang-ladang warga. Irma pun mengenali daerah tersebut yang tidak jauh dari desanya. Akhirnya Irma mengambil alih di posisi depan menggantikan Alfin.

Akhirnya kami sampai di rumah Irma sekitar pukul 01.30. Kami langsung melakukan sujud syukur di depan rumah Irma dan aku bertanya kepada Alfin dari mana ia langsung tau jalan pulang. Alfin bercerita di saat kami memutuskan untuk tidur, seorang kakek-kakek datang menghampiri dan mengatakan jika kami ingin keluar dari hutan itu kami harus segera mengikutinya. Dan kami pun mulai bercerita tentang apa yang kami alami selama di Gunung Ciremai.

Ternyata sejak awal pendakian saat memasuki kawasan hutan pinus, Alfin memang sudah merasa diikuti oleh nenek-nenek. Berbeda dengan Irma yang merasa sering melihat sosok hitam berbadan besar dengan mata merah saat tersesat di dalam hutan, hanya Hendra yang mengaku tidak melihat apa-apa. Tapi kami tidak percaya karna ia terlihat seperti menutupi sesuatu .

Akhirnya Irma masuk membangunkan ibunya yang sedang tertidur lalu langsung memeluk ibunya dengan erat dan menceritakan bahwa kami baru saja tersesat di Gunung Ciremai. Ibunya Irma pun langsung mencaci maki kami semua dia bilang bahwa warga kampung nya tidak ada yg berani mendaki Gunung Ciremai kecuali untuk mencari ilmu-ilmu tertentu.

Kami bersyukur karna masih bisa kembali dengan selamat dan tidak akan ceroboh lagi mendaki gunung secara ilegal. Sekian.

Penulis: Patrick