The Raven atau Sang Burung Gagak merupakan salah satu karya paling terkenal dari Edgar Allan Poe, maestro cerita horor pada abad 19. Bagi yang penasaran bisa langsung mencoba membaca kisahnya. Perhatikan bahwa puisi ini aslinya berbahasa Inggris. Cerita Mistis akan menampilkan cerita dalam versi Indonesia supaya lebih banyak orang dapat memahami dan meresapinya.

Satu malam kelam, ketika aku lemah dan lelah,
Melewati kisah aneh dan ganjil yang sudah terlupakan,
Kepala aku terangguk, hampir tertidur, tiba-tiba ada bunyi ketukan,
Seseorang dengan halus mengetuk, mengetuk pintu kamar aku.
“Pengunjung ini”, gumam aku, “ingin bertamu ke kamar aku-
Hanya itu, tidak lebih.”

Ah, samar-samar aku teringat Desember suram,
Setiap bara yang meredup menempa arwahnya di atas lantai,
Aku berhasrat akan esok;
Yang sia-sia aku mencoba meminjam
Dari buku-buku aku mencoba menghentikan kesedihan,
Kesedihan akan kepergian Lenore
Demi seorang dara yang berseri-seri tiada duanya bernama Lenore
Tidak bernama di sini selama-lamanya.

Dan tirai ungu halus, sedih, bergemerisik tidak pasti
Menggetarkan aku, mengisi teror luar biasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya;
Sehingga sekarang, dengan jantung berdegup, aku berdiri dan mengulang,
“Pengunjung ini ingin bertamu ke aku
Seorang pengunjung larut ingin bertamu ke aku
Hanya itu, tidak lebih.”

Jiwa aku kini lebih kuat; Tanpa ragu-ragu aku membalas
“Tuan, atau Nyonya, sungguh maaf aku memohon;
Sesungguhnya aku tertidur, dan sungguh lemah ketukan Anda,
Dan sungguh kecil suara ketukan, ketukan pintu kamar aku,
Hingga aku hampir tidak mendengar Anda”- Aku membuka pintu
Hanya kegelapan di luar, tidak ada apa-apa.

edgar-poe-burung-gagak-buka pintu

Di hadapan tatapan kegelapan, lama aku berdiri termenung, gentar,
Ragu, memimpikan mimpi manusia yang tidak pernah dimimpikan sebelumnya;
Namun keheningan masih belum terpecahkan, kesunyian tidak memberi petunjuk,
Satu-satunya kata yang aku keluarkan adalah bisikan, “Lenore?”
Bisikan ini, hanya kembali suara gaung, “Lenore!”
Hanya itu, tidak lebih.

Berputar kembali ke kamar, seluruh jiwa aku terbakar,
Segera, aku mendengar ketukan yang lebih keras dari sebelumnya.
“Tentu,” gumam aku, “tentu ada sesuatu di kisi-kisi jendelaku:
Mariku lihat, apa itu di sana , dan menjelajah misteri ini;
Biarkan hati aku tenteram sesaat dan menjelajah misteri ini;
Ini angin dan tidak lebih!”

Membuka, saya mengayunkan jendela, tiba-tiba terdengar kibasan
Di situ, berdiri seekor Burung Gagak yang gagah, yang bagai dari masa lampau
Tidak menunjukkan kepatuhan, tidak menetap sekejap pun;
Dengan penampilan seorang bangsawan, ia bertengger di atas pintu
Bertengger di atas patung Pallas, di atas pintu kamar aku
Bertengger dan duduk, tidak lebih.

edgar-poe-burung-gagak-the-raven-patung-palas

Kemudian burung hitam ini mengubah kemuramaman aku menjadi sebuah senyuman,
Dengan mengenakan wajah hormat dan tegas.
“Walau jengger engkau dipangkas dan potong, ” ungkap aku, “kau sungguh tidaklah mengenal ketakutan,
Dengan tatapan menakutkan.
Gagak kuno yang melalang buana di tepian Malam
Sebutlah nama muliamu di pesisir Plutonian!”
Nevermore (arti: tidak lagi),” ucap Gagak.

Takjub mendengar sang unggas mengucap dengan lugas,
Walau jawabannya tidak bermakna, tiada relevan;
Namun kita pasti setuju, tidak ada manusia hidup
Pernah melihat seekor burung di atas pintu kamar
Burung atau hewan di atas ukiran patung di atas pintu kamar
Dengan nama “Nevermore.”

Namun Gagak, duduk sendirian di atas patung, hanya berucap
Satu kata itu, bagaikan jiwanya hanya untuk satu kata itu.
Tak ada lagi yang diucapkannya- Tak sehelai bulu dia kibas-
Hingga saya bergumam sendiri, “Temanku yang lain telah pergi-
Besok iapun akan terbang pergi meninggalkanku,
seperti harapanku telah pergi dahulu.”
Kemudian Gagak berucap “Nevermore.”

Terkejut atas keheningan yang terpecah oleh balasan yang jitu,
“Yakin,” kata aku, “apa yang diucapkannya hanya itu,
Ditangkap dari seorang tuan yang tak bahagia
Yang Malapetaka tanpa ampun mengikutinya terus menerus
Sampai nyanyiannya membebaninya.
Hingga lagu kematian melahirkan
“Nevermore”.

Sang Gagak masih memancing gelitikan aku,
Aku menarik sebuah kursi ke depan burung, patung dan pintu;
Sewaktu beludru tenggelam, aku mulai menghubungkan khayalan demi khayalan,
Memikirkan burung lampau terkutuk ini
Apa makna dibalik burung suram, kaku, nan mengerikan itu
bergaok “Nevermore.

Aku duduk menduga, namun tidak ada ekspresi suku kata
Tatapan tajam sang unggas membakar dada aku;
Aku duduk, dengan kepala tersandar Cahaya lampu menyinari garis pada beludru di kursi ,
Namun cahaya lampu menyinari garis beludru siapa,
Dia (Lenore) akan menyandar, ah, nevermore (tidak akan lagi)!

Udara semakin berat, diwangikan oleh pendupaan yang tak terlihat
Diayunkan oleh Seraphim yang langkah kakinya membunyikan lantai berumbai.
“Terkutuk,” pekik aku, “Tuhan mengirim engkau- dari malaikat ini Ia mengirim engkau
Menenangkan- menenangkan dan menghibur, dari memori aku akan Lenore!
Teguk, oh teguk ketenangan ini dan lupakan Lenore yang hilang!”
Jawab sang Gagak, “Nevermore.”

“Nabi!” kata aku, “makhluk keji!- burung atau iblis! –
Entah sang Penggoda mengirim, atau prahara yang membuang Engkau ke sini,
Terpencil namun tak kenal takut, di tanah gurun ini terpesona-
Di rumah ini yang dihantui Horror – Beritahu aku sesungguhnya, Aku memohon
Adakah – Adakah balsem di Gilead? – Beritahu aku, Kumohon!”
Jawab sang Gagak, “Nevermore.”

“Nabi!” kata aku, “makhluk keji!-  burung atau iblis! –
Demi Surga yang melengkung di atas kita- Demi Tuhan yang sama-sama kita puja-
Beritahu jiwa yang sarat kepedihan ini, dalam jarak Aidenn,
Ada sesosok malaikat gadis bernama Lenore-
Sesosok malaikat yang berseri-seri tiada duanya bernama Lenore.”
Jawab sang Gagak, “Nevermore.”

“Jadikan kata-kata itu tanda perpisahan kita, burung atau setan,” pekik aku
“Kembalilah engkau ke prahara dan pesisir Plutonian!
Jangan tinggalkan bulu hitam sebagai kenangan akan kebohongan yang engkau ucapkan!
Biarkan kesunyian aku tidak terpecah! Singkir dari patung diatas pintuku!
Bawa paruhmu keluar dari hatiku, dan bawa wujudmu keluar dari pintuku!”
Jawab sang Gagak, “Nevermore.”

Dan sang Gagak tidak beranjak, tetap duduk, tetap duduk.
Di atas patung Pallas di atas pintu kamarku;
Dan matanya terlihat bagai iblis yang bermimpi,
Dan cahaya lampu meninggalkan bayangannya di lantai;
Dan jiwaku dari luar jendela itu melayang di atas lantai
Untuk diangkat- nevermore! (tidak akan lagi!)

edgar-poe-burung-gagak-the-raven-kematian


Karangan ini pada intinya menceritakan seorang pria yang masih dalam perasaan duka karena kehilangan kekasihnya yang bernama Lenore. Suatu tengah malam, entah dari mana tiba-tiba muncul suara ketukan. Setelah dicek, ternyata itu adalah burung gagak hitam. Namun burung gagak ini tidak terlihat sebagai burung gagak biasa. Karena dia memancarkan aura dan wibawa. Burung ini hanya bisa mengaok satu kata saja, “Nevemore“, yang artinya “Tidak lagi.”

Dikarenakan mampu berbicara satu kata, sang tokoh utama merasa penasaran. Asal tahu saja, semenjak dulu, burung gagak selalu menyimbolkan Iblis. Jadi kehadiran burung gagak ini membuat sang penulis penasaran. Mungkinkah burung itu manifestasi dari Iblis?

Awalnya dia merasa skeptis, dan berpikir pasti majikan terdahulu yang mengajarkan dia mengucap kata itu. Lalu ketika bayangan dia kembali ke Lenore, dia mulai merasa mungkin Burung Gagak itu dikirim Tuhan untuk menemaninya untuk menghibur kesedihannya berpisah dengan Lenore. Namun dijawab burung gagak “Nevermore!”

Pria tersebut mulai kalut, dan bertanya mungkinkah dia akan mencapai ketenangan di akhirat nantinya, dijawab “Nevermore” oleh gagak. Kemudian semakin kalap dia bertanya apakah ada yang bernama “Lenore” di dunia akhirat sana? Yang kembali dijawab “Nevermore!”

Sang pria itu menjadi histeris dan pada akhirnya mati, dikarenakan pikirannya yang kalut dengan gagak. Para pembaca yakin, burung gagak itu sendiri adalah Maut, yang datang menjemput sang pria. Maut biasanya memang bisa datang dalam macam-macam bentuk. Di Filipina mereka muncul dalam wujud tiga orang.