Walaupun saya mulai mengetahui penyebab ketiga perempuan menjadi seperti begini. Tetapi dari sudut pandang administrasi kepolisian, untuk menyusun Berita Acara Perkara, petunjuk itu sama sekali tidak berguna. Jadi bisa dibilang tidak ada kemajuan sama sekali. Bagaimana mungkin saya bisa melapor ini disebabkan gangguan makhluk halus yang berusaha membunuh mereka?

Sambil memakan stik, saya menceritakan penemuan-penemuan baru di rumah sakit. Sekalian juga menunjukkan foto penampakan yang sempat saya copy dari ponsel Illiana. Ibrom mengamatinya dan mengernyit keningnya.

“Hm… Fotonya aneh sekali…”

“Dari pengalaman kamu di dunia paranormal, ini apa?”

“Jujur, saya belum pernah melihat maupun mendengar kejadian begituan.”

“Jadi kamu pun tidak tahu itu apa?”

“Sejauh ini tidak. Tetapi saya ada perasaan ini berkaitan dengan kertas ini dan juga kuburan yang kamu singgung.”

“Ya, coba ceritakan dulu apa yang kamu temukan dari kertas itu dulu.”

Ibrom melap mulutnya dengan tisu, kemudian menggeser piringnya dan meletakkan kertas itu di atas meja.

“Ternyata ini adalah mantra negatif. Saya sendiri sering mempelajari rapalan dan mantra Jawa. Umumnya ada mantra bersifat perlindungan, ada yang bersifat meningkatkan kualitas spritual, ataupun ada yang bersifat pelet. Nah untuk mantra yang di kertas ini, setelah saya coba terjemahkan, intinya kurang lebih adalah kutukan.”

“Kutukan? Apa isinya”

“Kurang lebih artinya barang siapa yang mengusik tempat ini, dia akan mendapatkan musibah. Untuk perihal musibah apa, tidak terlalu spesifik musibah seperti apa. Tetapi saya rasa kamu mulai mendapat korelasinya bukan?”

“Ya. Kamu pikir kuburan di gunung itu ada kutukannya, sehingga ketika salah satu dari mereka malah mendudukinya, kutukan itu pun mulai menghantui mereka. Yang satu meninggal, satu lagi gila, dan satu lagi jatuh pingsan.”

“Betul. Dan saya khawatir untuk kasus Illiana, ini mungkin belum selesai. Mungkin kutukannya akan terus mengikutinya hingga dia mati. Tapi sekali lagi ini hanya dugaan saja.”

“Apa tidak ada solusi? Maksud saya menghilangkan kutukan saja?”

“Saya mungkin bisa memberikan mantra untuk melindungi mereka. Tetapi tentu saja ini tidak sepenuhnya bisa melindungi mereka. Kalau kutukan ini jauh lebih kuat, maka hanya masalah waktu sampai kutukan itu membunuh mereka berdua. Saya pikir solusi terbaik adalah segera bawa mereka ke makam itu dan meminta maaf.”

“Saya mungkin bisa mencoba mengaturnya. Tetapi kamu jangan lupa, ada satu yang masih belum stabil mentalnya. Bagaimana mungkin kita bisa membawanya?”

“Itu…”

“Dan saya ada satu hal lagi yang membuat saya tidak habis pikir. Siapa yang meletakkan kertas ini ke dalam meja rumah sakit. Apakah mungkin Elsa yang meletakkannya? Kalau iya, apa tujuannya? Dari kamu ada dugaan tertentu?”

Ibrom hanya menggeleng kepala. “Maaf, saya belum ada dugaan. Umumnya kutukan atau sumpah itu ditulis di batu Harapannya kutukan itu tetap berjalan selama-lamanya. Itu sebabnya selama zaman kerajaan, mereka selalu mendirikan prasasti untuk mengukir kutukan dan sumpah ke batu prasasti.”

“Berarti sumpah atau kutukan asli pasti ada di satu tempat. Dan seseorang menyalinnya, kemudian menyisipkannya ke laci. Mungkin Elsa yang menyisip…. Menurut kamu, apakah mungkin dia meletakkan kertas salinan ini ke laci sebagai salah satu bentuk penangkal kutukan atau sumpah?”

“Saya tidak pernah dengar praktek seperti demikian. Tetapi bisa jadi ini karena sang Elsa sudah berkonsultasi dengan paranormal lain. Makanya dia melakukan itu. ”

Saya mulai mempertimbangkan apakah saya perlu melacak siapa orang pintar yang mungkin membantu Elsa? Saya rasa saya harus cari tahu apa yang dilakukan Elsa sebelum dia pergi ke rumah sakit kosong itu. Semuanya berawal dari rumahnya.

 

“…..”

“Oh baiklah. Terima kasih.”

Saya menutup telepon. Sial! Pacar Elsa pun tidak mengetahui apa-apa. Dari telusuran orangtua Elsa, ke rekan sekantor, sampai terakhir dengan pacarnya, tidak ada satu orang pun yang memberi saya petunjuk sama sekali. Tidak ada satupun yang mengetahui apa yang dia lakukan hari itu, atau kondisinya seminggu terakhir. Mengapa bisa begitu?

Saya rasa satu-satu hal yang bisa saya lakukan adalah mengunjungi makam tua itu untuk mendapatkan petunjuk. Saya akan mengajak Ibrom untuk menuju sana. Dan seharusnya juga membawa serta Illiana. Karena dia adalah orang yang mengetahui lokasi pasti. Yang menjadi kendala adalah apakah memungkinkan mengajaknya, mengingat dia masih dirawat di rumah sakit, dan dia pastinya trauma dengan tempat itu. Namun, kalau tidak coba, kita tidak akan tahu. Jadi saya memutuskan coba saja.

Saya menelepon Ibrom, menjelaskan rencana saya. Dia sangat setuju, soalnya dia juga bisa mempelajari lebih lanjut, dan memikirkan solusi terbaik untuk menangani hal ini. Saya kembali ke rumah sakit dan menceritakan ke Illiana.

 

“Bapak ingin saya mengantar kalian ke lokasi itu?”

“Betul. Saya akan membawa serta teman saya itu yang orang pintar. Mungkin sedikit banyak dari dia bisa membantu. Tentu saja kami berharap Ibu bisa ikut untuk membantu menentukan lokasinya.”

Illiana berpikir beberapa saat. Saya tidak menyalahkannya. Umumnya orang tidak akan mau kembali ke tempat itu. Tetapi demi menyelesaikan masalah ini, saya rasa dia juga tidak bisa menghindarinya. Dia harus menghadapinya. Itulah satu-satu solusinya.

“Baiklah….”

“Ok. Tadi saya sempat diskusi dengan dokter. Kata dokter, Ibu sudah tidak ada masalah lagi. Hasil scan menunjukkan semuanya normal. Jadi besok sudah boleh keluar. Kita akan memulai perjalanannya besok.”

“Baik. Kalau tidak merepotkan, apakah bisa meminta penangkal atau sesuatu dari teman Bapak. Saya dari tadi masih tetap merasa ada sesuatu di dekat saya…” ujar perempuan itu tidak tenang.

Merasakannya? Maksudnya itu masih ada di ruangan ini?

Saya berjanji coba menanyainya. Dan saya pikir mungkin amannya malam ini harus ada orang yang menjaga Illiana. Tidak bagus kalau misalnya itu muncul lagi di malam ini, dan mencelakai dia. Tidak, Illiana adalah saksi kunci, dia harus dijaga, walau ini sudah masuk ranah mistis.

“Saya rasa malam ini kami akan juga sekalian jaga ruangan Ibu. Biar ibu bisa merasa aman.”

“Ya, terima kasih Pak. Boleh panggil saya Illiana saja,” jawabnya tersenyum.

“Baik. Bisa panggil saya Irfan juga saja.”

 

Ibrom tidak masalah menjaga Illiana. Toh dia juga merasa apabila bisa bertemu dengan makhluk itu malam ini juga, dan dapat menanganinya, mereka tidak perlu naik gunung lagi. Satu hal yang saya bingung adalah bagaimana dia menanganinya kalau dia sendiri belum pernah bertemu dengan makhluk itu?

“Hm, tentunya dengan membaca doa. Doa dengan niat yang tulus, merupakan senjata paling ampuh. Lagipula saya juga menyediakan solusi lain,” jawab Ibrom.

“Apa itu?”

“Api.”

“Api?”

“Iya. Api. Soalnya katanya kan ada patung terbuat dari kayu. Jadi kalau memang betul-betul kayu, tentu saja kita lawan dengan api. Haha.”

Saya tidak tahu orang itu bercanda atau serius. Karena sejujurnya belum pernah saya melihat hal seaneh itu. Jadi dia mau pakai cara apapun terserah dia. Dia lebih mengerti bidangnya.

 

Jam 8 malam saya datang rumah sakit bersama Ibrom. Illiana sedang menonton televisi di kamarnya. Kami berbincang sesaat. Ibrom meminjamkan sebuah bungkusan kain kecil. Bungkusan ini harus selalu dekat dengan dia, untuk menjaganya.

Terpikir Elsa, saya beritahu Ibrom dan Illiana, saya akan naik ke lantai empat untuk mengecek kondisi Elsa. Jadi mereka berdua tetap di sini saja.

Saya menemui salah satu perawat yang bertugas merawat dia, dan meminta izin untuk ke situ. Dan kami berdua naik ke atas. Dari luar pintu saya melihat dia masih sama seperti sebelumnya. Duduk di atas kasur menghadap dinding. Bulu kuduk saya meremang.

Entah mengapa setiap kali melihat dia, saya selalu merasa sensasi aneh ini.

“Kita bisa masuk ke dalam?”

“Saya coba cek dulu yah Pak.”

Perawat itu membuka pintunya kemudian menghampiri Elsa. Tetapi sesaat kemudian perawat kembali menghampiri saya.

“Maaf pak. Kondisinya sebetulnya semakin lama sepertinya semakin memburuk. Saya rasa malam ini tidak baik mengganggunya.”

Saya mengangguk. Dan berjalan keluar, tapi samar-samar saya mendengar Elsa bergumam, “mati… mati… mati…”

Saya mengabaikannya dan turun kembali ke kamar ruangan Illiana. Ketika masuk ke dalam kamar, saya melihat Illiana dan Ibrom sedang berdiri di sudut ruangan dengan wajah tegang. Televisinya dalam keadaan nyala tapi hanya statis saja.

“Ada apa?” tanya saya kebingungan sambil berlari masuk.

“AWAS!” teriak Ibrom

 

Bersambung…