Setelah menyerahkan kertas bertulis Jawa Kuno, saya kembali ke rumah sakit tadi. Perempuan yang koma, akhirnya mulai sadar. Ketika saya sudah sampai di sana, ternyata saya harus menunggu selama 1 jam dulu. Dokter harus memeriksa dan mengecek kondisi pasien apakah ada bermasalah sebelum mengizinkan saya menjenguknya.

Saya akhirnya masuk ke ruangan pasien. Dia duduk di ranjangnya. Kami pun bersalaman dan saya memperkenalkan diri saya sebagai polisi. Dia memperkenalkan namanya Illiana. Saya mengawali dengan basa basi menanyakan kesehatannya dan sebagainya. Setelah dia mulai merasa nyaman dengan saya, saya baru memulai penggalian informasi.

“Jadi, tahukah Ibu, teman Ibu Sriyani sudah meninggal?”

“Ya. Waktu itu saya ada melayat Yani…” jawabnya sedih.

“Menurutmu, ini mungkin perbuatan seseorang. Apakah ada kecurigaan, seperti seseorang yang berusaha membunuhnya?”

Iliana terdiam sesaat, lalu menjawab secara samar “Saya rasa ini memang ada pelakunya… Bukan seseorang tapinya. Saya… saya…”

Dia tidak dapat melanjutkannya. Terlihat sekali dia ketakutan. Saya mencoba mengalihkan dulu ke topik lain baru mencoba menggali lagi.

“Hari waktu Ibu pingsan. Itu sebetulnya apa yang terjadi?”

“Sebetulnya… sebetulnya ini mungkin bukan tugas polisi yang menanganinya…”

Bukan tugas polisi? Seperti menangkap keheranan saya, dia melanjutkan.

“Saya bingung menjelaskannya. Saya tidak tahu harus bagaimana menceritakannya ke bapak..”

“Tidak apa-apa. Kamu coba ceritakan apa adanya saja. Biar saya bantu mencari solusinya..”

“Bukan begitu… Ini menyangkut de.. dengan kutukan atau hantu…. Bapak pasti tidak akan percaya. Pasti kalian akan menganggap saya gila.” ucapnya sambil suara bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan.

Saya mencoba menenangkannya. “Tidak. Tidak. Saya akan percaya.”

Illiana menarik napas dan memejamkan mata. Saya sengaja diam, membiarkan dia menenangkan dirinya dulu. Keheningan mungkin bisa membantu. Beberapa saat dia mulai bercerita….

“Saya yakin, kejadian yang menipmpa saya, Yani, dan Elsa ada kaitannya dengan kejadian di gunung. Kami bertiga sudah saling kenal semenjak SMA. Dua minggu lalu pas long weekend, kami mendaki gunung. Rencananya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Sebetulnya tidak ada yang aneh ketika mendaki. Kejadiannya terjadi pada saat turun gunung. Saat itu kami turun lewat rute lain. Kata Elsa, dia dulu pernah ikut dan ada jalan pintas yang lebih cepat sampai bawah, jadi dia ajak kami coba lewat sana. Di situ memang ada jalan kecil. Jadi kami cukup yakin untuk memilih rute jalan itu.

Gara-gara sudah berjalan lama, Yani minta kami berhenti dulu untuk istirahat. Jadi kami pun berhenti.

Kami duduk di atas tanah. Sedangkan Yani duduk di gundukan kecil tanah. Kami tidak menyadarinya. Sampai tiba-tiba Elsa menyuruh Yani cepat-cepat berdiri. Saya waktu itu bingung. Saya kira Elsa melihat ada serangga atau hewan apa yang mendekati Yani. Ternyata bukan. Elsa menunjukkan sebuah papan yang tertancap di dekat gundukan itu. Dan kami pun mulai menyadarinya.

Itu adalah sebuah kuburan. Yang diduduki Yani itu adalah kuburan!

Papan kayu nisannya terukir tulisan aneh. Saya tidk tahu itu tulisan apa. Jadi tidak tahu juga apa maknanya. Tetapi sepertinya adalah kuburan yang sangat tua. Setelah itu kami buru-buru lanjut jalan dan pulang.

Saya waktu itu sebetulnya tidak terlalu memikirkan kuburan itu. Toh itu hanya kuburan tua. Mungkin penghuni gunung dulu yang tinggal di sana. Tetapi Sriyani semenjak kejadian itu wajahnya pucat pasi. Dan dia terlihat kalut sepanjang perjalanan. Untuk memperbaiki suasana, saya… saya… Oh seharusnya saya tidak melakukannya saat itu..”

Illiana kembali menitikkan air matanya.

“Ada apa? Memangnya apa yang Ibu lakukan?”

“Saya pikir kami foto-foto saja. Siapa tahu bisa membuat Yani merasa lebih baik. Dia tidak menolak saat saya mengajaknya. Akhirnya kami melakukan selfie beberapa kali. Sebetulnya sampai kaki gunung tidak terjadi hal-hal aneh. Kami semua saat itu pulang ke rumah masing-masing.

“Saat di rumah, pas mau upload foto hasil jepretan ke Instagram, saya mulai menyadari ada salah satu foto… ada foto…  yang tidak masuk akal….” ujarnya sambil menutup wajahnya lalu menyeka air matanya.

“Maksudmu ada foto penampakan?”

Illiana mengangguk kepalanya.

“Apakah kamu masih menyimpannya? Boleh saya lihat?”

Dia kemudian meraih ponselnya di samping ranjang dan memberikannya ke saya. Saya paham, dia pasti tidak berani membuka foto itu lagi. Saya mencoba membuka gallery foto di handphone, dan mencari-cari. Tetapi lihat sekilas foto-foto di sana tidak ada yang aneh.

“Foto mana yang bermasalah itu?”

“Kamu coba cari foto kami bertiga…”

“Saya kembali swipe sana kemari mencarinya. Ini?”

Dia menggeleng. Saya kembali menunjukkan foto lain, dan dia menggeleng. Begitu terus untuk beberapa foto sampai akhirnya saya menunjukkan foto yang benar.

Buru-buru saya menjauhkan foto itu darinya. Dan saya mulai memperhatikan seksama. Foto itu tidak ada yang masalah. Mereka menggunakan tongkat selfie untuk memotret bertiga. Posisinya Illiana paling kiri sambil tangannya yang memegang tongkat. Sriyani di tengah dan Elsa di kanannya.

Dari saya lihat di situ juga tidak ada bayangan manusia atau apapun seperti foto penampakan lainnya. Mungkin bukan fo..

Ya ampun! Saya memang melihat ada yang tidak wajar dengan foto itu. Tetapi saya tidak yakin. Jadi saya bertanya kembali.

“Yang tidak wajar itu, apakah maksudmu adalah benda di belakang kalian, di antara Elsa dan Sriyani itu?”

Illiana mengangguk.

“Ibu yakin benda itu tidak ada di situ saat kalian mengambilnya?”

“Tidak mungkin ada! Kalau benar-benar ada kami pasti sudah menyadarinya!”

Saya kembali menatap handphone Illiana. Dalam foto itu ada sebuah patung sinden hampir seukuran manusia berdiri di belakang Elsa dan Sriyani. Secara logika memang tidak mungkin ada sebuah patung di tengah pegunungan. Apalagi seukuran itu di belakang mereka bertiga dan tidak disadari.

Contoh patung kayu sinden...

Patung tersebut hampir seukuran manusia. Mungkin kurang lebih seukuran patung kayu sinden ini…

Otak saya memutar memikirkan hal-hal logis. Mungkin ada yang meninggalkan patung itu di tengah gunung. Lalu mengapa mereka bertiga tidak menyadari?

Patung seukuran manusia…

Berada di tengah gunung…

 

“Semenjak itu, saya selalu merasa ada yang berada di dekat saya, walaupun saya sedang sendirian. Ketika saya tanya yang lain, Yani juga merasa ada yang tidak beres. Dan dia mencoba cari orang pintar untuk membantunya. Elsa bilang kami berdua berpikir terlalu banyak. Saya tidak tahu… dan setelah itu…. tiba-tiba… Setelah beberapa hari tiba-tiba dengar kabar Yani … meninggal…”

Misterius sekali!

“Lalu bagaimana, kejadiannya Ibu bisa sampai jatuh pingsan?”

“Itu.. Itu… Malam itu saat saya sedang sendirian di rumah. Saat itu saya minta pembantu untuk pergi beli barang ke minimarket dekat rumah. Saya memasak sambil menyetel televisi di ruang tamu. Biar tidak terlalu sepi. Soalnya saya beberapa hari ini tidak tenang apalagi ditambah kepergian Yani…

Malam itu berbeda dengan malam-malam lainnya. Di tengah-tengah memasak, televisi yang tadinya menayangkan berita tiba-tiba menjadi statis. Saya tadinya terus fokus memasak, jadi membelakangi ruang tamu. Pas terdengar suara statis saya pun menoleh ke belakang melihat kenapa tv-nya tiba-tiba statis. Saat menoleh… saat menoleh, pa.. patung itu berdiri tepat di depan tv menatap ke arah saya tanpa ekspresinya!

Saya langsung jatuh pingsan. Kata dokter saat jatuh, kepala saya menghantam lantai dengan keras, itu sebabnya saya sempat koma, karena geger otak….”

Patung itu muncul di dalam rumah?

“Ibu yakin tidak salah lihat?”

“Yakin! Tidak mungkin salah lihat! Itu,… itu..”

 

Saya mencoba menyusun kembali. Besar kemungkinan mereka bertiga, melihat patung tersebut. Sriyani karena ketakutan sangat, terkena serangan jantung dan tewas. Illiana juga melihat itu, jatuh pingsan. Dan Elsa, kemungkinan besar juga karena melihat itu, mengalami ketakutan dan mentalnya tidak stabil. Saya tidak menyalahkan mereka. Kalau tiba-tiba di belakang mereka berdiri sebuah patung, siapapun pasti juga akan syok berat.

Saya masih bimbang apakah perlu melaporkan hal ini kepada atasan. Tetapi terkadang memang ini bisa jadi adalah ulah manusia, yang dieksekusi dengan pintar sehingga terlihat seperti mistis. Seperti seorang pesulap yang membuat orang lain takjub. Tetapi untuk ini saya belum yakin. Sebetulnya ini perbuatan manusia? Atau perbuatan hantu?

Masih ada satu hal yang membuat saya penasaran adalah, mengapa Elsa sengaja datang ke rumah sakit kosong itu?

“Bu Illiana, apakah Ibu tahu Bu Elsa mengapa datang rumah sakit kosong?”

Illiana melihat saya dengan keheranan dan menggeleng-geleng kepalanya.

“Kata dokter, Elsa juga dirawat di sini. Dan sekarang kondisi mentalnya menjadi tidak stabil. Minggu lalu dia masih baik-baik saja. Saya pikir ini mungkin kutukan, gara-gara kami tidak hormat di kuburan itu…”

Saya menenangkan dia. Saya kembali menjelaskan sebetulnya bisa jadi ini ada unsur pidana. Saya meyakinkan dia, biasanya kasus mistis, sebetulnya pelakunya adalah manusia, yang sengaja mengacaukan tim kepolisian dalam penyelidikan. Lagipula, saya meyakinkan dia, saya memiliki teman yang juga orang pintar. Jika kejadian ini memang masuk ranah paranormal, saya jamin teman saya bisa membantu.

Hanya setelah bilang begitu, Illiana lebih tenang.

Merasa sudah saatnya mengakhiri wawancara ini, saya pun mohon pamit dengannya.

Saat di luar saya mendapat telepon dari Ibrom. Ternyata dia sudah berhasil memecahkan misteri di balik kertas itu. Ternyata bisa cepat juga tuh orang, pikir saya. Karena perlu menjelaskan panjang lebar Ibrom mengajak ketemu saja.

“Ok, saya ke rumah mu saja.”

“Hm, jangan. Kita ke restoran saja. Kamu tahu restoran bistik dekat rumahku kan? Kita ketemu situ saja yuk!”

Dasar…. Sambil menutup telepon saya pun berangkat ke restoran.

 

Bersambung…