Ini merupakan pengalaman paling menakutkan aku. Setiap kali mengingatnya, bulu kudukku langsung berdiri. Kejadiannya pada saat 2004. Waktu itu aku masih sekolah di salah satu Madrasah Aliyah di Semarang, Jawa Tengah. Di sana ada organisasi pecinta alam yang dinamakan AULITA. Nah seperti halnya organisasi pecinta alam lainnya, siswa baru yang ingin bergabung juga akan melewati ujian dari kami…

Ujian ini untuk menguji nyali para peserta. Sebagai pecinta alam, kita akan sering keluar. Itu sebabnya, AULITA hanya menerima pemberani. Kami para senior akan meminta mereka untuk pergi ke tempat di mana tim kami sudah siap-siap. Mereka pergi sendirian tanpa membawa senter atau apapun menembus kegelapan. Saat ujian ini, semua siswa termasuk kami, tidak diperbolehkan memegang ponsel.

Merepa harus mengunjungi empat tempat yang sudah ditentukan kami. Jadi mereka harus bertemu kami di sebuah taman penuh pepohonan depan dekat sekolah, pabrik tua, rumah kosong, dan tanah pemakaman tua. Tempat terakhir ini merupakan tempat paling jauh dari sekolah, hampir satu kilometer.

Untuk mencapainya, peserta harus melewati tiga titik. Antar titik tidak ada rumah di sekitarnya. Setiap kali mereka sampai titik tersebut, mereka harus melakukan apapun yang kami minta. Saya dan teman saya paling berani, Wahid, tunggu di tanah kuburan situ. Sebetulnya saya enggan jaga pos itu, tetapi daripada disebut “penakut”, saya menguatkan hati untuk di situ.

Sejauh yang saya tahu, kali ini ada 8 peserta. Kita mulai jam 11 dan biasanya selesai jam 2 subuh. Saya dan Wahid sudah tiba di sana sebelum jam 11. Kami perlu mempersiapkan beberapa hal, seperti kuis untuk peserta, termos, gelas, dan kopi. Wahid selain pemberani, juga orang yang lucu. Jadi sebetulnya tidak bosan jaga pos bareng dia.

Dan begitulah satu per satu peserta mulai datang dan kami pun meladeninya. Saat jam 1, setelah peserta yang ke-delapan sudah selesai, aku memaksa Wahid untuk segera beres-beres dan cabut dari situ. Tetapi katanya kita masih ada satu kandidat lagi. Aku pikir semuanya sudah beres, tetapi dia sangat yakin ada kandidat ke sembilan itu. Aku pun tidak yakin, jadi setuju menunggu lagi.

Dan memang, 10 menit kemudian, ada seseorang yang datang ke kuburan.

“Hei, sini,” panggil Wahid dengan semangat. Anak itu pun berjalan ke tempat kami.

Sekedar info, antar sesama pecinta alam harus menyebut salam ketika bertemu. Tetapi anak ini diam seribu bahasa. Dia hanya berdiri di depan kami yang sedang duduk di lantai. Tentu saja kami kesal dengan sikapnya.

“Dik, kamu sudah melanggar satu aturan. Siapa namamu?” tanya Wahid. Tidak ada jawaban.

“Hey, sebut namamu!” suara Wahid hampir teriak.

“Mau ditonjok ke muka?” tanya Wahid marah sambil bangkit berdiri. Tetapi anak itu tetap tidak bergeming…

Aku mencoba menyenter wajahnya. Seharusnya wajahnya familiar, tetapi ternyata tidak. Aku tidak mengenalinya. Juga sepertinya tidak pernah melihat anak itu di madrasah. Dia tampak tenang.

“Tenang Wahid. Mungkin dia takut ama kita, atau mungkin dia menemui sesuatu di jalan tadi,” kata aku. Sebetulnya di sini aku mulai merasa ada yang tidak beres.

“Siapa namamu?” tanya saya dengan lembut. Tetapi dia tetap tidak menyahut sepatah kata pun.

“Pergi! Kamu tidak bisa bergabung dengan kelompok ini,” usir Wahid.

Dia lalu putar balik. Ini benar-benar tidak benar. Saya merasa memang ada yang tidak beres.

“Aku tidak kenal anak ini. Kamu kenal?” tanya aku ke Wahid.

“Sama! Tetapi gua ada ide. Kita kuntit dia lalu di tempat gelap kita kejutkan dia. Itu pembalasan kita!”

Oh tidak. Wahid anaknya memang begitu. Dan percuma saya mencoba melarangnya. Kami pun diam-diam mengikutinya. Kami sangat yakin ke arah mana dia akan pergi. Jadi kami sengaja tunggu di belakang pohon gede, tempat yang untuk mengejutkan dia di kegelapan. Kami potong jalan supaya sampai di tempat itu duluan.

Beberapa saat mulai terlihat dia mendekat ke arah pohon. Wahid mulai menggeram dan mengeluarkan suara-suara aneh lalu lompat ke jalan. Tetapi aneh, tidak ada orang di situ.

 

“Di.. di mana dia?” Wahid saat iut jelas-jelas terlihat ketakutan. Aku sendiri bingung. Kami mencoba mencari-carinya, melihat ke sekeliling. Tanpa kami sadari…

ORANG ITU TERNYATA BERDIRI DI BELAKANG KAMI!!

Kami langsung kalang kabut dan lari. Aku dan Wahid langsung lari. Termos dan gelas yang dibawa aku, pun ditinggalkan.

Saat sampai di sekolah, anak-anak pada nanya dari mana. Ternyata mereka sudah menunggu kami lama sekali. Jadi kami pun cerita kronologi kami dari bertemu peserta yang ke-sembilan itu sampai kami mencoba mengagetkannya. Yang lain langsung menjawab kata-kata yang paling tidak ingin saya dengar, “Kita hanya ada 8 kandidat!”

Setiap kali aku berada di tempat gelap, aku selalu teringat peristiwa itu. Itu sebabnya aku selalu berjalan cepat kalau di tempat gelap. Wahid sendiri semenjak kejadian itu menjadi lebih pendiam. Tidak tahu dia takut atau tidak. Tetapi yang pasti kejadian itu betul-betul menyeramkan habis. Aku tahu anak pecinta alam seharusnya pemberani, tetapi kejadian ini sendiri menurut aku sudah luar biasa.

– Hassan