Phiiiuuuff…!!! Akhirnya aku bisa menarik napas lega setelah berhasil bebas dari keruwetan lalu lintas di libur panjang akhir pekan. Tanggal merah yang jatuh pada hari Jumat membuat kemacetan lebih parah dari biasa.

Hampir 4 jam tadi aku berada di jalan tol, padahal biasanya hanya sekitar 1 jam saja. Kini aku sudah sampai di ujung jalan tol, dan masih harus melanjutkan perjalanan sekitar 75 km lagi.

Huuuh… kalau saja bukan karena telepon tanteku tiga hari yang lalu, aku enggan pergi ke luar kota saat awal libur panjang akhir pekan seperti ini. Namun apa daya, beliau satu-satunya adik almarhum ayahku. Tanteku hidup sendirian karena tidak menikah dan punya anak. Dan sekarang, hanya aku keponakan yang paling mudah mengunjungi beliau. Kedua kakakku bekerja di luar pulau, hanya beberapa bulan sekali pulang ke Jakarta.

Setelah keluar dari jalan tol, aku mampir di sebuah rumah makan untuk istirahat dan mengisi perut yang sudah keroncongan. Aku baru ingat tadi siang tidak sempat makan dengan benar karena kesibukan pekerjaan. Sambil menunggu pesananku datang, aku teringat perbincangan terakhir dengan tanteku.

“May, kamu weekend ini sibuk nggak?” Tanya tanteku di ujung telepon.

“Belum ada rencana pasti sih, tante. Aku memang planning mau jenguk tante, tapi berangkatnya baru Jumat siang, biar nggak kena macet.”

Tidak terdengar tanggapan dari tanteku.

“Tante…?” Panggilku.

“Eh iya, iya, May… Tante masih dengar koq. Mmm… bisa nggak… mmm kamu datang… lebih cepat?” Tempo bicara tanteku berubah. Lebih lambat, dan terdengar sedih.

“Maksud tante?”

“Maksudnya, kamu berangkat jangan hari Jumat, tapi hari Kamis aja. Pas abis pulang kantor.” Tanteku menjelaskan.

Aku memijit keningku. Bingung. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus menunggu persetujuan klien, dan tenggat waktunya sampai dengan hari Kamis sore.

“Tante, aku nggak bisa janji ya, karena masih ada kerjaan yang belum selesai. Begini aja, kalau Kamis sore semuanya udah selesai, aku langsung berangkat. Tapi kalau belum, berarti aku baru bisa berangkat hari Jumat. Gimana?”

“Iya udah, nggak apa-apa. Yang penting kamu datang. Dan jangan sampai terlambat berangkatnya, ya. Kalau bisa, jangan berangkat lebih dari jam 5.” Tanteku mewanti-wanti.

Nasi bakar dan teh tawar hangat pesananku sudah datang. Aku tengah menikmati makan malamku ketika sekilas kupingku menangkap kata-kata “kecelakaan fatal di jalan tol”. Mataku langsung tertuju ke layar televisi yang berjarak hanya sekitar 3 meter dari tempat duduk.

Tulisan “Breaking News” terpampang di layar televisi. Aku menajamkan indera pendengaran dan penglihatan. Reporter berita melaporkan bahwa sebuah mobil yang kehilangan kendali menghantam pagar pembatas, melewati median dan menabrak beberapa kendaraan dari arah berlawanan. Lokasi kejadian tidak terlalu jauh dari pintu keluar tol yang baru saja aku lewati. Sejauh ini sudah beberapa orang yang terluka parah dan dinyatakan kritis.

Astaghfirullahal ‘adzim. Aku langsung istighfar dan bergidik ngeri. Seandainya saja aku terlambat berangkat tadi, bisa saja aku menjadi salah satu korban kecelakaan. Aku bersyukur masih dalam lindungan Yang Maha Kuasa.

Selesai menghabiskan nasi bakar, teh hangat, ditambah secangkir caffè latte panas, aku melanjutkan perjalanan yang masih sekitar 3 jam lagi. Berarti aku akan sampai di tujuan sekitar lewat tengah malam.

Rumah yang aku tuju ini sebenarnya adalah peninggalan kakek dan nenekku. Setelah mereka meninggal, tanteku bersikeras untuk tetap tinggal di sana sendirian. Segala jurus rayuan dan bujukan tidak mampu membuat tante mau pindah dan tinggal dengan kami di Jakarta. Ayahku menyerah. Dan kami pun sering menghabiskan akhir pekan di sini, setidaknya sekali dalam sebulan.

Sebelum menyalakan mobil, aku menelpon tanteku untuk memberi tahu bahwa aku masih dalam perjalanan.

“Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”

Aku coba lagi karena biasanya sinyal telepon di daerah tempat tinggal tanteku suka naik turun. Masih tetap sama seperti sebelumnya. Usahaku yang ketiga kalinya pun tetap tidak membawa hasil. Aku putuskan untuk mengirimkan pesan singkat.

Tante, May msh dlm prjalanan. Smp sktr jam 12-1. Tante tdk usah tunggu May, knci teras smpg taruh aja di bwh pot spt biasa. Trims.

Aku tekan tombol ‘send’ dan hampir seketika aku mendapat notifikasi bahwa pesan sudah masuk ke HP tanteku. Aneh karena selang beberapa menit yang lalu HP tanteku tidak bisa dihubungi. Aku coba menelepon sekali lagi.

“Nomer yang anda tuju sedang tidak…”

Segera aku putus hubungan telepon, menyalakan mesin mobil dan keluar dari tempat parkir.

Sisa perjalananku sangat lancar. Prakiraan awal sekitar 3 jam ternyata meleset. Aku hanya perlu waktu kurang dari 2 jam untuk sampai di rumah tanteku, padahal aku sama sekali tidak memacu laju kendaraan lebih cepat dari biasanya.

Dari pagar rumah, aku bisa melihat bagian dalam rumah yang gelap, hanya lampu luar saja yang dibiarkan menyala. Rupanya tanteku sudah tidur.

Pelan-pelan, aku membuka pintu pagar. Mesin aku matikan, dan membiarkan mobil menggelinding di jalanan menurun berbatu. Suara gemeretak batu kerikil yang terlindas ban terdengar nyaring di tengah malam yang sunyi.

Aku keluar dari mobil untuk menutup pagar rumah. Saat menuju kembali ke mobil, aku baru menyadari bahwa di teras depan rumah ada semacam tenda yang biasa dipasang jika akan ada hajatan. ‘Hmmm… kelihatannya tante akan mengadakan acara,’ ujarku dalam hati.

Usai memarkir mobil di carport, aku berjalan menuju deretan pot tanaman bunga di teras samping. Kondisi di dalam rumah masih tetap gelap. Aku mencari kunci di bawah pot tapi tidak aku temukan. Aku mencoba di bawah keset pintu. Tetap tidak ada. Aku berjinjit, meraba-raba atas kusen pintu. Kosong. Aku mengintip ke kusen jendela, juga tidak ada apa-apa.

Mungkin tante lupa meninggalkan kunci seperti pesanku tadi. Atau, mungkin juga dia tidak menerima pesan singkatku tadi.

Aku kembali ke mobil untuk mengambil HP supaya bisa menelpon tante, memberi tahu kalau aku sudah sampai. Ketika aku mengambil HP yang diletakkan di kursi depan, aku melihat lampu di ruang tengah sudah menyala, dan pintu teras samping sudah terbuka tapi aku tidak melihat tanteku.

Aku segera mengambil tas pakaian dan barang bawaan yang tidak terlalu banyak dari kursi belakang. Suhu udara sepertinya mendadak turun karena tiba-tiba tubuhku menggigil kedinginan. Segera aku mengunci mobil dan berlari ke arah rumah.

“Assalamualaikum,” sapaku saat memasuki rumah.

“Wa alaikum salam,” tanteku membalas salam. Suaranya berasal dari dapur yang berada di sisi kanan ruang tengah. Tidak lama tanteku muncul dari pintu dapur.

Aku segera menghampiri tanteku, mencium tangan dan kedua pipinya. “Apa kabar, tante?”

“Baik.” Jawab tante sambil tersenyum kecil. “Alhamdulillah kamu sudah sampai, May.”

“Iya, tante. Tadi macet banget di jalan tol. Kayaknya semua orang barengan pergi liburan long weekend,” ujarku sambil menarik kursi makan di dekatku.

“Kamu sudah makan, May?” Tanya tanteku.

“Tadi sempet sih, mampir dulu makan waktu abis keluar tol.”

“Eh, tante udah bikin lasagna, lho. Mau?”

Wah, tawaran yang sulit ditolak. Apalagi lasagna buatan tanteku sudah terkenal lezatnya.

“Duh, nggak nolak tante. Mau, pake banget,” jawabku kegirangan.

“Sebentar ya, tante angetin dulu.”

Tanteku beranjak menuju ke kulkas, dan mengambil dua kotak kecil alumunium berisi lasagna. Kotak-kotak ini lalu dimasukkan ke dalam oven kecil yang ada di atas meja dapur.

Sambil menunggu makanan hanket, aku membawa tas pakaianku ke kamar yang biasa aku pakai jika menginap di sini. Kamar ini dulu ditempati almarhum ayahku saat masih tinggal sini.

Aku tidak perlu membongkar tas yang aku bawa karena di lemari ada beberapa pakaian yang sengaja aku tinggal. Usai memilih pakaian di dalam lemari yang akan dikenakan malam ini, aku ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Udara dan air yang sangat dingin membuat aku mengurungkan niat untuk mandi. Aku hanya mencuci muka, tangan dan kaki.

Aku kembali ke ruang makan tapi ternyata tanteku duduk menunggu di ruang tengah. Dua porsi lasagna dan dua gelas susu coklat hangat sudah ada di atas meja.

Kami ngobrol panjang lebar sambil menikmati lasagna dan susu coklat yang luar biasa lezat. Tidak terasa hingga hampir jam tiga dini hari kami berbagi cerita. Mendadak, tanpa bisa dikendalikan, aku menguap sangat lebar.

“Udah, kamu istirahat dulu, May. Kamu pasti kecapekan,” saran tanteku.

“Iya deh, tante. May bobo dulu, ya.” Aku beranjak dari kursi sambil membawa piring serta gelas yang sudah habis isinya ke dapur, dan mencucinya di bak cuci piring.

“Oh ya, Mayra, itu di freezer udah ada lasagna untuk kamu bawa pulang ke Jakarta. Jangan lupa ya!” Tanteku berpesan.

“Oke, tante,” jawabku tanpa memalingkan muka dari bak cuci piring.

Keluar dari dapur, aku melihat lampu ruang tengah dan ruang makan sudah dimatikan. Hanya tersisa cahaya temaram dari lampu meja yang sengaja dibiarkan menyala. Pintu kamar tanteku pun sudah tertutup.

Aaah, aku lupa memberikan oleh-oleh kue kesukaan tante yang tadi aku bawa. Kotak berisi tar susu aku keluarkan dari kantung plastik, dan aku simpan di dalam lemari es. Sesudah mematikan lampu dapur, aku masuk kamar untuk beristirahat.

Tidak butuh waktu lama aku langsung terlelap karena kelelahan.

Tiba-tiba, aku merasa ada yang menyentuh keningku. Mirip tangan tapi sangat dingin, sedingin es batu yang baru saja keluar dari freezer. Aku langsung bangkit dari posisi tidur, duduk di tempat tidur dengan jantung berdebar kencang. Belum hilang rasa kaget akibat sensasi dingin di kening, aku melihat kursi goyang bergerak naik turun, seperti ada yang sedang duduk di situ. Tidak hanya itu, di atas kursi, sesosok bayangan hitam ikut bergerak mengikuti ayunan kursi goyang.

Tak ayal lagi aku langsung berteriak ketakutan memanggil tanteku sambil lompat dari tempat tidur, dan segera menyalakan lampu kamar.

Tapi kursi goyang itu diam. Tidak bergerak. Tidak ada siapa-siapa yang duduk di situ. Keringat dingin langsung mengucur deras.

“Ada apa, sayang?” Tanteku muncul dari balik pintu kamar.

Aku langsung berlari ke arah tanteku, dan memeluknya erat-erat. Tangan tante mengusap lembut rambutku.

“Huh… tadi, tadi… huh… ada…,” otakku tidak bisa merangkai kata-kata dengan normal.

“Sssshhh… sssshhh… sssshhh…,” ujar tanteku menenangkan.

Napasku masih tersengal-sengal, degub jantungku belum kembali normal. Tante menggiringku keluar dari kamar menuju ke ruang keluarga. Kami duduk di sofa depan TV. Dia lalu mengambil segelas air putih hangat dan memintaku untuk meminumnya.

“Tante…, tante tadi masuk kamar May? Eeeng… sempet duduk di… di… kkkursi goyang?” Tanyaku tergagap-gagap.

“Tante dari tadi di kamar aja. Emang kenapa, sayang? Ada apa?”

Aku menarik napas panjang, mencoba merekonstruksi apa yang baru saja aku alami di dalam otak. Perlahan aku ceritakan semua kejadian di dalam kamar tadi. Tidak ada perubahan ekspresi di wajah tante sepanjang aku bercerita, namun dia menyimak setiap kata-kataku.

Setelah agak tenang, aku diajak kembali ke kamar tapi aku menolak. “Nggak mau, tante. Aku masih takut. Aku pindah tidur sini aja.”

“Nggak ada apa-apa, koq. Kamu cuma mimpi buruk.”

Aku bersikeras tidak mau lagi tidur di kamar, setidaknya untuk malam ini. Tante tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya menatapku dalam-dalam. Aku sulit mengartikan arti pandangannya. Dia lalu mengangguk kecil, dan tanpa berkata apa-apa lagi, tanteku kembali ke kamarnya.

Aku berlari ke kamar mengambil selimut, bantal dan guling. Secepat mungkin aku meninggalkan kamar dan kembali ke ruang keluarga. Setelah menyusun bantal dan guling di atas sofa, aku langsung merebahkan badan dan memejamkan, mata. Aku mencoba kembali untuk tidur.

Rasa penasaran membuatku sulit tidur kembali. Aku yakin sekali tadi ada seseorang yang duduk di kursi goyang di dalam kamarku, dan aku juga melihat kursi yang berayun-ayun. Di rumah ini tidak ada orang lain selain tanteku, dan sekarang ini ada aku tentu saja. Tapi tanteku tadi bilang bahwa dia ada di dalam kamarnya. Jadi, siapa tadi yang memegang keningku? Siapa yang tadi duduk di kursi goyang?

Tanpa sadar akhirnya aku terlelap karena kelelahan mencari jawaban dari misteri ini.

Pagi harinya, aku terbangun karena mendengar suara klakson mobil tetangga sebelah. Dengan malas aku mengambil HP untuk melihat jam berapa sekarang.

Oh Tuhan! Nooo…! Jam 09.30…?! Pasti ada yang salah dengan jam di HPku.

Aku meloncat dari sofa dan berlari ke jam di dekat dinding meja makan.

Jarum pendek ada di antara angka 9 dan 10, sementara jarum panjang di angka 6. Ternyata tidak ada yang salah dengan jam di HPku.

Uuuh, aku menghela nafas panjang. Belum pernah aku setelat ini bangun tidur bahkan di hari libur sekalipun. Biasanya aku tetap bangun pagi-pagi, tapi setelah sarapan aku lanjutkan lagi tidurnya.

Dengan langkah gontai, aku berjalan ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan cuci muka. Selesai dari kamar mandi, aku ke dapur untuk membuat kopi dan sarapan.

Aku membuka lemari es untuk melihat persediaan bahan makanan yang bisa diolah untuk jadi sarapanku pagi ini. Di freezer aku melihat sekotak besar lasagna yang tanteku ceritakan semalam. Di pintu lemari es aku menemukan telur, sementara di bagian rak aku melihat semangkuk irisan jamur kancing yang masih segar. Tanteku ini memang luar biasa, sangat hapal dengan kesukaan semua keponakannya. Aku membuat omelete jamur sambil mendidihkan air untuk menyeduh kopi.

Saat mencuci peralatan bekas memasak, aku melihat piring dan gelas yang aku cuci semalam masih ada di rak piring.

Piring berisi omelete jamur dan cangkir kopi aku letakkan di meja makan. Aku berjalan ke kamar tidur tanteku dan mengetuk pintunya.

“Tante…”

Pintu kamar terbuka sedikit, terdorong akibat ketukan tanganku.

“Tante…”

Tidak ada jawaban. Aku beranikan diri melongok ke dalam kamar. Kosong. Tempat tidur sudah dalam keadaan sangat rapi. Bukan hanya tempat tidurnya, tapi barang-barang di dalam kamar pun sangat rapi.

Pasti tanteku sudah keluar rumah. Entah sedang mengurus tanaman kesayangannya di kebun belakang, pergi ke pasar, atau menengok usaha bunga potong miliknya. Akhirnya aku sarapan sendirian sambil menonton televisi di ruang tengah.

Potongan terakhir omelete jamur baru saja masuk ke dalam mulut ketika aku mendengar seseorang mencoba membuka pintu teras samping. Aku beranjak dari sofa untuk melihat siapa yang datang.

Dari jendela, aku melihat mang Oyon berdiri di balik pintu. Dia adalah orang kepercayaan tanteku yang biasa dimintai tolong untuk menjaga dan mengurus rumah jika tanteku sedang pergi ke luar kota. Mang Oyon jugalah yang dulu sering membantu mengasuh aku dan kedua kakakku ketika kami masih kecil.

Aku menarik gerendel pintu yang masih terpasang. Lalu, kubuka pintu lebar-lebar.

Ekspresi wajah mang Oyon sama sekali tidak pernah kuduga sebelumnya. Dia kaget luar biasa. Entah kaget karena apa.

“Mang, koq mukanya kayak orang kaget gitu? Kayak belum pernah ketemu saya,” aku mengolok mang Oyon.

Mang Oyon masih bengong dan terdiam.

“Mang! Mang Oyon, kenapa sih?”

Mata mang Oyon mengerjap beberapa kali, seperti orang yang sedang tidak mempercayai penglihatannya sendiri.

“Neng Mayra… Neng Mayra kapan dateng?” Tanya mang Oyon penuh keheranan.

“Semalem. Sampai sini sekitar jam 12 kurang deh,” jawabku.

“Yang bukain pintu siapa?”

“Ya tantelah, siapa lagi? Eh iya, mang Oyon udah sempet ketemu tante tadi pagi? Saya bangunnya kesiangan, kayaknya tante udah keburu pergi.”

Mang Oyon tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah masuk ke dalam rumah. Gantian aku yang kaget, sekaligus bingung melihat tingkahnya. Tapi aku biarkan saja dia masuk.

Tingkah aneh mang Oyon belum berhenti. Dia memeriksa mulai dari kamar tanteku, ruang keluarga, kamarku, dapur, semuanya. Tidak ada satu ruangan pun yang ketinggalan. Aku semakin dibuatnya bingung.

Akhirnya Mang Oyon duduk di salah satu kursi makan. Wajahnya kelihatan pias dan pucat, pandangan matanya mengawang jauh. Aku menarik kursi di seberang mang Oyon, ikut duduk.

“Mang, ada apa sih?”

“Neng May… neng May pernah terima SMS dari saya?” Tanya mang Oyon lirih. Hampir-hampir aku tidak mendengar suaranya.

“SMS? Dari mang Oyon…? Nggak pernah, mang.” Jawabku setelah mengingat-ingat.

“Kapan?” Aku balik bertanya.

“Enam hari yang lalu,” jawab Mang Oyon pelan.

“Sebentar… Saya cek dulu. Siapa tahu saya yang salah.” Aku berdiri dari kursi untuk mengambil HP yang tadi aku tinggal di meja lampu dekat sofa.

Aku membuka kotak pesan masuk, dan melacak pesan-pesan yang aku terima hingga seminggu terakhir. Sama sekali tidak pesan masuk dari Mang Oyon.

“Nomernya benar, mang?” Tanyaku sambil berjalan kembali ke ruang makan.

Mang Oyon mengeluarkan HP dari kantung celananya, lalu menyebutkan nomer yang aku maksud. Persis sama, tidak ada yang salah. Dia lalu menyerahkan HPnya kepadaku untuk menunjukkan SMS yang dia kirim.

Assalamualaikum. Ada kabar duka.Ibu atikah subuh tadi meninggal. Mhn neng may dtng secepatnya. Stlh zhuhur akan dimakamkan. Wass Oyon

Pesan sukses terkirim enam hari yang lalu, pukul 06:24.

“Makanya tadi saya kaget banget lihat ada mobil neng Mayra di depan. Tambah kaget lagi lihat neng Mayra sudah ada di dalam karena kunci rumah cuma saya yang pegang. Nanti malam rencananya mau…”

Aku tidak lagi bisa mendengar kata-kata Mang Oyon dengan jelas. Kalimat berikutnya seperti menggema di telingaku. Pandanganku menjadi kabur, lalu gelap.

Penulis: Tyra