Kisah ini bermula dari seorang peramal bernama Li Jie. Ia adalah penduduk Kaifeng, Ibu Kota Timur. Ia melakukan perjalanan ke Kabupaten Fengfu, Keresidenan Yanzhou, dan membuka kios ramalan di depan kantor kabupaten.

Di bawah pedang Tai’e yang ditutupi kertas bersepuh, ia menggantung tanda yang bertuliskan “Kematian bagi mereka yang berpengetahuan rendah namun terlalu cepat untuk menyebarkan pendapat orang lain”. Dan dia sangat akurat menggunakan teori yin dan yang dalam ramalannya. Kehebatan ramalannya mungkin bisa dideskripsikan puisi berikut:

Ahli dalam kitab perubahan dari Zhou,
mengetahui semua cara dalam meramal,
Ia membaca seluruh pola di langit,
dan ia adalah ahli feng shui di bumi.
Mengetahui semua tentang perbintangan
Ia meramal dengan ketepatan yang luar biasa.
Ia mengetahui seluruh hukum takdir,
Ramalannya tak pernah meleset.

Baru saja ia menggantung tanda di tokonya, seorang lelaki masuk dalam kiosnya. Seperti apakah dia? Ia memiliki tas di punggungnya, topi di kepalanya. Dengan baju hitam berkerah ganda dengan ikat pinggang sutra, serta memakai sepasang sepatu bersih dan kaus kaki. Ada gulungan tulisan dalam lengan bajunya.

Setelah bertukar salam dengan sang peramal, lelaki itu memberikan tanggal dan jam kelahirannya. Peta astrologi pun digambarkan. Namun dengan cepat peramal itu berkata, “Tidak, aku tak dapat melakukan ini untukmu.”

Lelaki itu, yang bernama Sun Wen, adalah kepala pegawai di kantor Kabupaten Fengfu. Ia bertanya, “Mengapa kau tak mau meramal nasibku?”

“Yang Mulia, pekerjaan ini terlalu sulit untukku.”

“Apa maksudmu?”

“Jauhi arak dan berhentilah melindungi seseorang.”

“Aku tidak pernah minum arak, juga tak melindungi siapa pun.”

“Berikan lagi tanggal dan jam kelahiranmu, siapa tahu ada kesalahan.”

Kepala pegawai itu mengulangi keterangannya. Si peramal mengkalkulasi lagi lalu berkata, “Tuan, sebaiknya kau menyerah.”

“Aku tak keberatan mendengar apapun yang kau katakan.”

“Terlihat tidak bagus.” Setelah berkata demikian, si peramal menulis sebuah kuatren yang berbunyi,

Ini adalah hari datangnya harimau putih,
Membawa duka dan kesedihan,
Sebelum pukul satu esok pagi,
Seluruh sanak saudara akan berduka cita.

Harimau putih melambangkan kedukaan dalam tradisi Tionghua zaman tersebut.

Kepala pegawai membacanya dan bertanya, “Apa artinya ini?”

“Aku takkan merahasiakannya darimu, Tuan. Kau akan segera meninggal.”

“Tahun berapa aku meninggal?”

“Tahun ini.”

“Bulan apa?”

“Bulan ini.”

“Hari apa?”

“Hari ini juga.”

“Jam berapa?”

“Sekitar tengah malam, sekitar pukul 3.45.”

“Jika memang benar aku mati malam ini, kau akan terbebas dari kesulitan. Namun jika tidak, besok kau akan berurusan denganku di sidang kabupaten.”

“Jika engkau tidak mati malam ini, Tuan, datanglah lagi besok dan penggal kepalaku dengan Pedang Tai’e yang digantung ini, yang diperuntukkan bagi mereka yang berpengetahuan rendah, namun terburu-buru menyampaikan pendapat orang lain.”

Mendengar kata-kata ini, kepala pegawai menjadi murka. Dengan satu kibasan, ia memegang sang peramal, lalu melemparkannya keluar dari kios. Bagaimanakah akhir sang peramal?

Dari seluruh pengetahuannya tentang manusia,
Ia membawa kesedihan berlimpah bagi dirinya sendiri.

Dari kantor kabupaten keluar beberapa petugas, yang menghalangi Kepala Pegawai Sun dan menanyakan penyebab terjadinya keributan.

Sun mengadu, “Benar-benar orang yang tak masuk akal! Aku memintanya untuk meramal nasibku, hanya untuk senang-senang. Tapi ia malah berkata bahwa aku akan mati pukul 3.45 malam nanti. Aku adalah lelaki yang sangat sehat. Mana mungkin aku akan begitu saja mati? Aku akan membawa orang ini ke kantor kabupaten dan mengadakan sidang untuk menyelesaikan masalah ini.”

Seseorang dalam kerumunan itu berkata, “Kalau kau percaya pada ramalan, kelak kau akan menjual rumahmu. Jika kau mencari nafkah sebagai peramal, kau hanya mengarang cerita.” Kerumunan itu lalu menenangkan Sun dan membawanya pergi dari situ.

Di tempat kejadian masih ada beberapa petugas, yang lalu memaki peramal dan berkata, “Tuan Li, kau telah menyinggung kepala pegawai yang terkenal ini. Kau takkan bisa lagi membuka usaha di sini. Lebih mudah untuk mengatakan bahwa seseorang akan miskin daripada mengatakan berapa lama seseorang akan hidup. Kau bukanlah ayah Raja Yama (raja di alam baka) atau saudara Hakim Kematian. Bagaimana bisa kau begitu yakin tentang pastinya jam kematian seseorang? Kau lebih baik menggunakan kalimat yang bermakna ganda.”

“Jika aku hanya memberitahu hal-hal yang menyenangkan aku akan mengorbankan ketepatan. Namun jika aku berkata yang sebenarnya, aku menyinggung orang lain. Baiklah, seperti kata pepatah, ‘Jika tempat ini tidak menerimaku, masih ada tempat lain!'”. Sambil menghela napas, peramal itu mengemas barang-barangnya dan pindah ke tempat lain.

Sekarang, walaupun Sun telah ditenangkan oleh orang banyak, ia tetap merasa kesal. Setelah menyingkirkan seluruh pekerjaannya hari itu, tanpa semangat ia pulang ke rumah. Melihat alis suaminya yang mengernyit dan wajahnya yang tampak khawatir, istrinya bertanya, “Apakah ada yang mengganggumu? Apakah pekerjaanmu di kantor menyusahkanmu?”

“Tidak. Jangan tanya.”

“Apakah kau dihukum oleh bupati?” ia mendesak.

“Tidak.”

“Kalau begitu, apakah kau bertengkar dengan seseorang?”

“Tidak. Hanya saja aku pergi meramal nasib di depan kantor kabupaten, dan peramal itu mengatakan bahwa aku akan mati sekitar tengah malam nanti, pukul 3.45.”

Bulu kuduk istrinya meremang saat mendengar hal ini. Alisnya meninggi, matanya yang bercahaya membelalak dan berkata, “Lelaki yang sangat sehat akan mati malam ini juga! Betapa tak masuk akal! Mengapa kau tidak membawanya ke sidang kabupaten?”

“Aku sudah mencobanya, namun orang-orang menghalangiku.”

“Suamiku, kau tinggal di rumah saja. Bukankah biasanya aku yang menghadap bupati mewakilimu jika dibutuhkan? Sekarang, biar kucari peramal itu dan aku akan berkata, ‘Suamiku tak berutang uang pada pemerintah atau siapapun, ia juga bebas dari segala tuntutan hukum. Bagaimana bisa kau berkata ia akan mati malam ini?'”

“Jangan pergi. Jika aku melewati malam ini, besok aku akan membuat perhitungan dengannya. Itu lebih baik diraipada membiarkan wanita mengurus soal ini.”

Saat senja tiba, kepala pegawai berkata, “Beir aku beberapa cawan arak. Aku akan berjaga semalaman. Setelah minum beberapa cawan, ia mabuk, matanya kabur, dan ia pun tertidur di bangkunya.

Istrinya berkata, “Suamiku, bagaimana bisa kau tertidur?” Ia memanggil Ying’er sang pelayan. “Ke sinilah,” katanya, “Bangunkan Bapak.”

Ying’er menghampiri, menggoyang-goyangkan tubuh kepala pegawai, dan sia-sia memanggil namanya. “Ying’er,” ucap istrinya, “cepat bawa dia ke kamar tidur.” Seharusnya ia harus tetap terjaga semalaman sambil meminum araknya. Tidur adalah hal terakhir yang harus dilakukannya.

Setelah suaminya berada di tempat tidur, sang istri menyuruh Ying’er untuk menyalakan api dapur dan menambahkan, “Apakah kau tahu ada seorang peramal memberitahu Bapak kalau malam ini ia akan mati?”

“Ya, Nyonya, aku tahu. Betapa tak masuk akalnya!”

“Ying’er, mari kita menyulam dan berjaga malam ini untuk melihat apa yang terjadi. Jika tak ada apa-apa, besok kita buat perhitungan dengan peramal itu. Jangan sampai tertidur!”

“Aku takkan berani. ” ucap Ying’er. Namun belum lama ia selesai berkata, sang pelayan mulai mengantuk.

“Ying’er! Kubilang jangan tidur, namun kau malah mulai mengantuk!”

“Aku tidak mengantuk!” Namun tidak lama berkata demikian, ia malah tertidur.

Sang majikan membangunkannya dan bertanya, “Jam berapa sekarang?”

Saat itu, terdengar tambur penjaga malam kantor kabupaten menunjukkan pukul 3.45.

“Ying’er!” teriak Nyonya Sun. “Jangan tidur! Ini adalah saatnya!”

Namun Ying’er masih tertidur, kali ini ia sama sekali tak menyahut. Tiba-tiba Nyonya Sun mendengar suaminya melompat dari tempat tidur, lalu terdengar bunyi berisik dari pintu tengah rumah. Cepat-cepat sang istri membangunkan Ying’er. Pada saat lampu dinyalakan, mereka mendengar gerbang luar dibuka. Sambil membawa lampu, keduanya mengejar, dan mereka melihat seorang lelaki berpakaian putih berjalan keluar sambil menutupi wajah dengan tangannya, dan menceburkan ke sungai Kabupaten Fengfu. Sesungguhnya,

Saat hidup terisi oleh kepedihan,
Seseorang menyerahkan dirinya pada angin timur.

Sungai itu adalah anak Sungai Kuning. Dan mustahil untuk menyelamtkan orang itu di tengah arus yang deras. Nyonya Sun dan pelayannya berdiri di tepi sungai dan menangis meraung-raung, “Kepala Pegawai! Mengapa engkau menceburkan diri ke dalam sungai? Siapa sekarang yang akan menghidupi kami?”

Mereka lalu berteriak-teriak memanggil para tetangga. Nyonya Diao dan Nyonya Mao dari jalan bawah, Nyonya Gao dan Nyonya Bao dari seberang jalan, semua berdatangan.

Saat mendengar cerita Nyonya Sun tentang apa yang terjadi, Nyonya Diao berkata, “Aneh sekali!”

Nyonya Mao berkata, “Aku melihatnya pulang dengan berpakaian hitam, membawa dokumen. Aku bahkan bertukar salam dengannya.”

Nyonya Gao berkata, “Itu benar. Aku juga!” Nyonya Bao mengatakan hal berikut, “Sumaiku pergi ke kantor kabupaten pagi ini dan melihat kepala pegawai menarik si peramal. Ia menceritakannya padaku saat tiba di rumah. Siapa yang menyangka ia benar-benar meninggal!”

Lalu Nyonya Diao menyambung, “Oh, Tuan Sun, bagaimana bisa engkau meninggal tanpa meningglakan pesan pada para tetanggamu!”

Setelah mengucapkan ini, air matanya berlinang. Nyonya Mao kembali mengomentari, “Betapa menyedihkan! Apalagi jika kau mengingat semua kebaikan yang pernah ia lakukan!” Ia juga ikut menangis. Nyonya Bao meratap, “Tuan Sun, kapan kami bisa melihatmu lagi?”

Tanpa membuang waktu, lurah setempat segera melaporkan masalah ini kepada yang berwenang. Dan sesuai tradisi, Nyonya Sun melantunkan sutra Buddhis untuk mendoakan almarhum.

Dalam sekejap, tiga bulan berlalu. Suatu hari, Nyonya Sun dan Ying’er sedang duduk-duduk di rumah, ada dua orang wanita yang wajahnya merah karena arak datang. Yang seorang memegang botol arak, dan seorang lagi memegang dua bunga kertas. Sambil mengangkat tirai pintu, mereka melangkah masuk dan berkata, “Benar, ini tempatnya.”

Nyonya Sun menengok dan melihat bahwa mereka ternyata adalah comblang di kota tersebut, Zhang dan Li. Nyonya Sun berkata, “Lama tak berjumpa, Nenek.”

Para comblang itu berkata, “Maaf mengganggu, Nyonya! Kami baru saja mendengar kabar kematian suamimu. Maafkan kami yang tak membawa uang kertas dan dupa. Sudah berapa lama suamimu meninggal?”

“Aku baru saja memperingati seratus hari kematiannya, dua hari yang lalu. ”

“Betapa cepatnya waktu berlalu! Jadi sudah lebih dari seratus hari. Ia sungguh lelaki yang baik. Setiap kali aku memberi salam, ia pasti balik menyapa. Karena ia telah lama meninggal, kau pasti sangat kesepian. Bagaimana kalau kami mencarikan jodoh untukmu?”

Sang janda membalas, “Di mana aku bisa menemukan lelaki sebaik dia?”

Para comblang itu berkata, “Itu tidak sulit! Kami puna calon yang baik untukmu.”

“Cukup! Bagaimana bisa ada seseorang yang seperti almarhum suamiku?”

Kedua comblang itu minum teh lalu pergi. Namun beberapa hari kemudian, mereka kembali mencoba lagi. Sang janda berkata, “Jangan kembali lagi nutuk mengajukan tawaran pernikahan, kecuali kalian bisa memenuhi ketiga syarat ini. Jika tidak, jangan mengungkit hal ini lagi. Lebih baik aku menjadi janda seumur hidupku.” Maka sang janda memberitahukan ketiga syarat itu.

“Tiga syarat apa?”

“Pertama, almarhum suamiku bermarga Sun, maka orang yang kau tawarkan ini juga harus bermarga Sun. Kedua, almarhum suamiku adalah kepala pegawai nomor satu di Kabupaten Fengfu, lelaki ini harus memiliki jabatan yang sama. Ketiga, aku takkan meninggalkan rumah ini, dialah yang harus pindah ke sini.”

Mendengar permintaan ini, kedua comblang itu berkata, “Horee! Jadi kau ingin menikahi lelaki bermarga Sun, yang memiliki pekerjaan yang sama dengan almarhum suamimu, dan bersedia untuk pindah ke rumahmu. Syarat lain mungkin lebih sulit untuk ditemukan, namun untuk ketiga syarat ini tak ada masalah! Biar engkau kuberitahu, Nyonya. Almarhum suamimu yang adalah kepala pegawai nomor satu di Kabupaten Fengfu, dipanggi dengan namaKepala Pegawai Besar Sun. Lelaki yang akan kami jodohkan denganmu, mulanya adalah kepala pegawai nomor dua di Kabupaten Fengfu. Sekarang karena Sun Besar telah meninggal, maka ang tadinya nomor dua, kini menjadi nomor satu. Dia dikenal sebagai Kepala Pegawai Muda Sun. Dan dia bersedia pindah ke rumahmu. Bagaimana menurutmu?”

“Ini benar-benar kebetulan yang jarang terjadi!” seru wanita itu.

Comblang Zhang berkata, “Aku sudah berusia 72 tahun. Jika aka mengarang-ngarang cerita palsu, biarlah aku berubah menjadi 72 ekor anjing untuk memakan tahi di rumahmu!”

“Jika kata-katamu benar, ” ucap wanita itu, “Silakan ajukan lamaran kepadanya. Aku penasaran apakah ada ikatan perkawinan yang ditakdirkan di antara dia dan aku.”

“Hari ini adalah hari mujur,” ucap Comblang Zhang, “buatlah catatan pada kertas keberuntungan merah untuk kami.”

“Aku tak mempunya kertas semacam itu di rumah,” ucap sang janda.

“Aku punya beberapa,” ucap Comblang Li. Lalu ia mengeluarkan selembar kertas bermotif bunga.

Lalu, si janda menyuruh Ying’er membawa kuas dan tinta. Catatan itu lalu dibuat dan dibawa oleh para comblang itu. Seperti biasa, hadiah pernikahan ditawarkan, dan pesan-pesan dikirim ke sana kemari. Belum dua bulan berlalu, Kepala Pegawai Muda Sun telah pindah masuk ke rumah sang janda. Dan ternyata mereka adalah pasangan yang serasi.

Hari demi hari berlalu. Suatu hari, dalam keadaan, mabuk, pasangan itu menyuruh Ying’er membuat sup untuk mereka agar lebih segar. Saat sedang menyalakan tungku dapur, dengan marah Ying’er berkata, “Kalau majikan kepala pegawai tua masih hidup, sekarang aku pasti sudah tidur. Namun kedua orang ini menyuruhku bekerja di jam segini!” Menyadari bahwa ujung tabung api terhalang dan tak mau terbakar, ia membungkuk untuk mengetukkannya pada kaki tungku. Ia mengetuk beberapa kali sampai api dalam tungku perlahan-lahan naik setinggi lebih dari satu kaki. Tiba-tiba muncul seorang lelaki, mendorong tungku dengan kepalanya, lehernya terjebak oleh kisi-kisi sumur, rambut panjangnya terurai, lidahnya menjulur, dan matanya meneteskan darah. Ia berteriak, “Ying’er! Tolonglah majikanmu!”

Ying’er sangat ketakutan sehingga ia berteriak keras lalu jatuh ke tanah. Wajahnya pucat, matanya kabur, bibirnya menjadi ungu, kukunya menjadi kebiruan. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada organ dalamnya, namun tungkai dan lengannya semua menjadi lumpuh. Sesungguhnya,

Lemah seperti cahaya bulan yang memudar pada pukul lima,
Suram seperti lentera yang kehabisan minyak sebelum fajar.

Pasangan suami istri itu cepat-cepat menyadarkan Ying’er. Setelah memberinya ramuan penenang, mereka bertanya, “Apa yang membuatmu pingsan?”

Ying’er berkata pada si wanita, “Aku sedang membuat api. Saat api itu tiba-tiba naik, aku melihat almarhum kepala pegawai, lehernya terjebak dalam kisi-kisi sumur, matanya meneteskan darah, dan rambutnya terurai. Ia memanggil namaku dan aku sangat ketakutan hingga jatuh pingsan.”

Mendengar cerita itu, Nyonya Sun tiba-tiba saja menampar Ying’er dan berkata, “Kau sungguh pelayan yang baik! Bilang saja kau malas untuk membuat sup, tak perlu mengarang-ngarang cerita dan berpura-pura pingsan! Baiklah, kau tak usah bekerja lagi sekarang. Matikan apinya dan tidurlah.” Ying’er pun menurut.

Kembali ke kamar mereka, si wanita berbisik pada suaminya, “Kakak, gadis itu melihat sesuatu. Kita tak bisa lagi mempekerjakannya di sini. Mari kita suruh dia pergi.”

“Ke mana?”

“Aku ada ide.”

Setelah makan pagi keesokannya harinya, Sun Muda pergi ke kantor untuk bekerja. Si wanita memanggil Ying’er dan berkata padanya, “Ying’er, kau telah bekerja untukku selama 7-8 tahun, dan aku sangat menyukaimu. Tapi kau tak segiat saat kepala pegawai masih hidup. Apakah kau ingin menikah? Jika ya, mari kucarikan jodoh untukmu.”

“Mana berani aku menikah? Siapa yang ingin engkau kawinkan denganku?”

Orang yang akan dinikahi Ying’er inilah nantinya akan memegang peranan cukup penting dalam misteri kematian Sun Tua. Ying’er pun dinikahkan dengan lelaki bernama Wang Xing, yang dijuluki Wang si Pemabuk. Setelah menikah kurang dari tiga bulan, Wang Xing telah menghabiskan seluruh perhiasan Ying’er.

Suatu hari, dalam keadaan mabuk, Wang Xing berteriak pada Ying’er, “Kau wanita murahan! Bagaimana bisa kau melihatku hidup dalam kesusahan tanpa pergi ke majikanmu untuk meminjam uang beberapa ratus?”

Karena tak tahan menghadapi gangguan suaminya, Ying’er mengenakan pakaian rapi dan berjalan ke rumah Sun Muda. Ketika melihat Ying’er Nyonya Sun berkata, “Ying’er, sekarang kamu sudah menikah. Apa lagi yang ingin kau katakan padaku?”

“Jujur saja, ini adalah pernikahan yang buruk untukku. Suamiku mabuk dan berjudi terus-menerus. Dan tak sampai tiga bulan, ia telah menghabiskan seluruh perhiasanku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain meminjam uang beberapa ratus padamu untuk membantu kami.”

“Ying’er,” ucap Nyonya Sun, “menikah dengan lelaki yang salah adalah masalahmu. Ini ada satu tael perak untukmu, tapi jangan kembali lagi ke sini.” Ying’er menerima perak itu dengan rasa terima kasih dan kembali pulang.

Namun dalam 4-5 hari, uang itu juga habis.

Suatu sore, dalam keadaan mabuk, Wang Xing memanggil Ying’er dan berkata, “Kau wanita tak berharga! Mengapa kau tidak pergi dan meminjam sesuatu dari majikanmu saat melihatku dalam keadaan menyedihkan seperti ini?”

“Terakhir kali aku pergi, aku diceramahi sebelum diberi satu tael perak itu. Bagaimana bisa kau menyuruhku kembali lagi ke sana?”

“Kau wanita murahan! Jika kau tidak pergi, akan kupatahkan kakimu!”

Karena tidak tahan dimaki, Ying’er terpaksa pergi ke rumah keluarga Sun sebelum malam berakhir. Namun sesampai di rumah itu, gerbangnya terkunci. Ia bermaksud mengetuk, namun takut dimarahi. Ia kebingungan dan tak bisa berbuat apa-apa selain kembali ke rumahnya.

Setelah melewati 2-3 rumah, ia mendengar suara seorang lelaki, “Ying’er, aku punya sesuatu untukmu.”

Ying’er menengok untuk melihat lelaki itu. Pria itu berdiri di bawah atap rumah, mengenakan topi, jubah merah, dan ikat pinggang dengan jepitan berbahan gading. Ia membawa gulungan dokumen di lengannya. Dengan suara lemah lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Ying’er, aku adalah almarhum kepala pegawai. Aku tak bisa memberitahumu di mana sekarang aku tinggal, namun ulurkanlah tanganmu. Aku punya sesuatu untukmu.”

Ying’er menjulurkan tangannya. Saat terasa sesuatu diletakkan di atas tangannya, lelaki itu pun menghilang. Ying’er melihat di tangannya ternyata sebungkus perak. Ia segera pulang dan saat mengetuk pintu, terdengarlah suar Wang Xing dari dalam, “Adik, mengapa kau lama sekali?”

“Biar kuceritakan apa yang terjadi. Aku ke sana untuk meminjam beras, namun gerbangnya terkunci. Aku tak berani mengetuk karena takut Nyonya Sun akan marah. Saat aku berbalik pulang, aku melihat almarhum kepala pegawai berdiri di bawah atap rumah, memakai topi, jubah merah, ikat pinggang gading, dan ia memberi sebungkus perak padaku. Ini dia.”

“Kau pelacur! Omong kosong apa ini! Kau harus menjelaskan dari awal mana asal perak itu, tapi masuklah dulu.”

Ying’er masuk ke dalam rumah. “Adik,” ucap Wang Xing, “aku teringat kata-katamu tentang penampakan orang mati di tungku. Pasti ada yang mencurigakan dari semua ini. Tadi aku berkata seperti itu di luar karena takut para tetangga mendengarmu. Sekarang singkirkan dulu perak itu. Mari kita tunggu sampai besok pagi untuk pergi ke kantor kabupaten dan melaporkan mereka berdua.” Sesungguhnya

Bunga layu jika terlalu bayak dirawat;
Pohon willow berbunga jika ditinggal.

Pagi berikutnya, Wang Xing berkata dalam hati, “Tunggu dulu! Aku tak dapat melancarkan tuduhan karena dua hal. Pertama, ia adalah kepala pegawai nomor satu di kabupaten. Bagaimana mungkin aku memusuhinya? Kedua, tak ada bukti-bukti kuat. Bahkan bungkusan berisi perak ini pun pasti akan disita, dan itu akan menjadi tuntutan hukum tanpa terdakwa. Sebaiknya aku menebus beberapa potong pakaian dari rumah gadai, membeli beberapa kotak permen untuk Tuan Sun dengan uang itu, dan pergi mengunjunginya.” Setelah membuat keputusan, ia pergi dan membeli dua kotak permen.

Setelah berpakaian rapi, pasangan itu pergi ke rumah keluarga Sun. Saat melihat mereka datang dengan membawa kotak permen, Tuan Sun bertanya, “Dari mana kalian mendapat uang?”

Wang Xing menjawab, “Aku medapat dua tael perak dari menggambar kertas unutuk kepala pegawai. Oleh karena itu, aku membawa hadiah untukmu. Aku telah berhenti berjudi dan mabuk.”

“Wang Xing,” ucap Nyonya Sun, “kau boleh pulang sekarang, tapi aku butuh istrimu untuk beberapa hari.”

Setelah Wang Xing pergi, Nyonya Sun berkata pada Ying’er, “Aku hendak bepergian ke Kuil Puncak Timur untuk membakar dupa. Pergilah denganku besok.”

Tak ada kejadianapa-apa malam itu. Pagi harinya, setelah mandi kepala pegawai pergike kantor kabupaten, sedangkan istrinya mengunci gerbang lalu pergi bersama Ying’er. Setelah membakar dupa di aula utama Kuil Puncak Timur, mereka pergi untuk membakar dupa lagi di koridor. Saat mereka melewati Kuil Pembalasan, sabuk Ying’er kendor. Ketika ia sedang sibuk mengencangkannya, Nyonya Sun terus berjalan seorang diri. Tiba-tiba sebuah patung dewa hakim yang memakai topi, jubah merah, dan ikat pinggang gading memanggil dari dalam kuil, “Ying’er, aku adalah almarhum kepala pegawai! Bantu dapatkan kebenaran bagi aku! Aku mempunya sesuatu untukmu.”

Ying’er mengambil benda itu dan melihatnya, “Aneh sekali ada patung dari tanah liat yang bisa berbicara! Mengapa ia memberiku ini?

Ying’er terburu-buru menyembunyikan benda itu di dadanya dan tak berani menceritakan hal ini pada Nyonya Sun. Setelah membakar dupa, mereka lalu berpisah.

Setelah mendengar cerita Ying’er, Wang Xing meminta agar benda itu diperlihatkan kepadanya. Ternyata itu adalah gulungan kertas yang bertuliskan:

Cucu besar, cucu kecil
Yang pertama menabur, yang kedua menuai
Untuk mengetahui apa yang terjadi pada pukul tiga malam,
Pindahkan apinya dan keringkan air di bawahnya,
Pada bulan kedua atau ketiga tahun depan,
Ju Si akan datang memecahkan teka-teki ini.

Wang Xing tak mampu menebak makna surat itu. Ia pun berkata pada Ying’er, “Jangan beritahu siapapun tentang ini. Sepertinya akan terjadi sesuatu pada bulan kedua atu bulan ketiga tahun depan.”

Dalam sekejap, tibalah bulan kedua tahun yang baru. Seorang hakim kabupaten baru datang menggantikan yang lama. Ia bernama Bao Zheng (999-1062), penduduk kota Jindou di Luzhou, yang tak lain adalah Hakim Bao yang sangat terkenal dalam cerita-cerita pada masa kita. Setelah ia menempati jabatan di Akademi Kekaisaran Paviliun Longtu, ia dikenal sebagai Sarjana Bao. Saat cerita ini terjadi, ia masih menjabat sebagai hakim kabupaten, yang merupakan jabatan pertamanya. Sejak usia muda, ia terkenal pandai dan jujur. Saat menjawab sebagai hakim kabupaten, ia menunjukkan pengertian yang mendalam pada perasaan manusia yang terdalam dan memecahkan kasus yang menganggu orang lain.

Pada malam ketiga setelah ia menjabat, sebelum ia mulai mengerjakan tugas-tugasnya, ia bermimpi duduk di sebuah ruangan dengan bait-bait yang tertulis di dinding:

Untuk mengetahui apa yang terjadi pada pukul tiga malam,
Pindahkan apinya dan keringkan airnya di bawahnya.

Pagi berikutnya, Hakim Bao mengadakan sidang dan bertanya pada semua pegawai yang bertugas untuk menjelaskan kedua baris itu. Namun, tak ada yang bisa menjawabnya. Ia lalu meminta sebuah plakat kosong dan menyuruh Sun Muda untuk mencatat kedua bait itu menjadi sebuah kaligrafi. Sang hakim lalu menambahkan dengan kuas merahnya:

“Sebuah hadiah sebanyak sepuluh tael perak akan diberikan bagi semua yang bisa memecahkan teka-teki ini.” Plakat itu lalu digantung di gerbang kantor kabupaten, dan cepat menarik perhatian para pegawai dan masyarakat. Semua tertarik dengan hadiah yang ditawarkan dan saling mendorong untuk melihat dengan jelas pengumuman itu.

Wang Xing sedang membeli kue kurma di dekat kantor kabupaten dan ia mendengar bahwa hakim menggantung plakat bertuliskan dua baris kalimat yang tak bisa dipecahkan orang-orang. Ia yang pun pergi melihatnya. Saat ia melihat kedua baris yang sama dengan yang tertulis pada gulungan kertas dari Kuil Pembalasan, ia menjadi sangat terkejut.

“Jika aku pergi dan memberitahu yang sebenarnya,” ia berpikir, “hakim baru itu tak bisa ditebak, sehingga aku takut membuatnya tersinggung. Namun jika aku diam saja, takkan ada yang tahu apa makna di balik kedua baris itu.”

Setelah pulang ke rumah dengan membawa kue kurma, ia memberi tahu istrinya tentang hal itu. Ying’er berkata, “Almarhum kepala pegawai telah muncul tiga kali, menyuruhku untuk mendapatkan kebanaran atas ketidakadilan yang menimpa padanya. Kita juga telah mendapatkan sebungkus perak tanpa melakukan apa-apa. Jika kita tak pergi kepada yang berwajib, aku takut hantu-hantu dan dewa-dewa akan mengejar kita.”

Wang Xing tetap tidak bisa memutuskan. Sekali lagi, ia pergi ke kantor kabupaten dan menemui tetangganya, pegawai kabupaten yang bernama Pei. Karena tahu bahwa pegawai Pei adalah orang yang bijak, Wang Xing segera menariknya ke tempat sepi, menceritakan semuanya dan meminta pendapatnya, “Haruskah aku melapor?”

“Di mana gulungan kertas dari Kuil Pembalasan itu?” tanya Pei.

“Disembunyikan dalam peti pakaian istriku.”

“Pertama, biarkan aku melaporkan masalahnya pada kantor kabupaten atas namamu. Sementara itu, pulanglah dan ambil gulungan kertas itu, dan bawa ke kantor kabupaten. Saat hakim memanggilmu, kau bisa menyerahkannya sebagai bukti.”

Maka, Wang Xing kembali ke rumahnya. Pegawai Pei pergi ke kantor kabupaten dan menunggu sampai Hakim Bao membubarkan sidang. Setelah tak terlihat Sun Muda di sana, Pei mendekati sang hakim dan berkata sambil berlutut, “Yang Mulia, tetanggaku, Wang Xing, adalah satu-satunya orang yang mengetahui cerita di balik baris-baris yang tertulis dalam plakat itu. Ia mengatakan bahwa ia mendapat gulungan yang berisi kedua baris itu beserta baris-baris lainnya di Kuil Pembalasan di Kuil Puncak Timur.”

“Lalu di mana Wang Xing itu sekarang?”

“Ia pulang ke rumahnya untuk mengambil gulungan itu.”

Hakim Bao menyuruh petugas untuk segera menjemput Wang Xing ke sidang.

Sementara itu, di rumahnya, Wang Xing membuka peti pakaian istrinya dan mengambil gulungan kertas itu. Setelah membukanya ia menjerit cemas. Kertas itu telah berubah menjadi kertas kosong. Ia pun kehilangan keberanian untuk pergi ke sidang dan ragu serta diam saja di dalam rumah. Petugas yang dikirim oleh kantor kabupaten telah tiba.

Bagaimana bisa Wang Xing menolak pejakabt kabupaten yang semangatnya masih berapi-api dalam tugas pertamanya itu? Dengan segan Wang Xing mengambil kertas kosong itu dan mengikuti sang petugas menuju kantor kabupaten dan langsung menuju ke ruang dalam.

Hakim Bao segera membubarkan anak buahnya dan hanya menyisakan Pegawai Pei yang berdiri di sampingnya. Sang hakim bertanya pada Wang Xing, “Tuan Pei berkata bahwa engkau menerima segulung kertas dari Kuil Puncak Timur. Tunjukkan gulungan itu padaku.”

Sambil bersujud berkali-kali, Wang Xing berkata, “Istriku melakukan perjalanan untuk membakar dupa ke Kuil Puncak Timur tahun lalu. Saat ia melewati Kuil Pembalasan, seorang dewa memberinya gulungan kertas. Isinya adalah baris-baris kalimat yang dua di antaranya ada dalam plakat Yang Mulia. Aku menaruhnya dalam peti, namun saat mengeluarkannya beberapa saat yang lalu, isinya kosong. Aku membawanya sekarang. Semua yang kukatakan tidak bohong.”

Hakim Bao mengambil gulungan itu. Setelah melihatnya, ia lalu bertanya, “Apakah kau ingat apa yang tertulis di dalamnya?”

“Ya.” Wang Xing lalu mulai mengucapkan baris-baris dalam kertas itu.

Setelah mencatatnya dalam selembar kertas, Hakim Bao membaca dengan teliti baris-baris itu, lalu berkata, “Wang Xing coba jawab, apa yang dikatakan dewa itu pada istrimu saat ia memberikan gulungan kertas itu?”

“Dewa itu menyuruhnya untuk mencari keadilan atas kejahatan yang dilakukan terhadapnya.”

Sang Hakim langsung murka, “Kau pembohong! Bagaimana mungkin dewa mempunyai keluhan yang harus diperbaiki manusia? Dan dari sekian banyak orang, mengapa ia memilih istrimu untutuk menolongnya! Siapa yang coba kau bohongi dengan omong kosong semacam ini?”

Wang Xing cepat-cepat menjawab sambil bersujud, “Yang Mulia, ada penjelasan untuk hal ini.”

“Kalau begitu katakanlah secara terperinci! Aku mempunyai hadiah untukmu jika apa yang kau katakan masuk akal. Namun jika tidak, kau akan menjadi orang pertama yang kena hukuman pukul!”

“Istriku Ying’er pernah menjadi pembantu Kepala Pegawai Sun Besar kabupaten ini. Seorang peramal mengatakan bahwa ia akan meninggal pada jam 3.45 tengah malam hari itu. Dan memang benar terjadi. Jandanya lalu mengawini Kepala Pegawai Sun Muda, suaminya yang sekarang, dan menikahkan Ying’er kepadaku. Pertama kalinya almarhum kepala pegawai menampakkan diri pada istriku adalah di dapur rumah Keluarga Sun. Dengan kisi-kisi sumur pada lehernya, rambut terurai, lidah terjulur, dan darah menetes dari matanya, ia berteriak, ‘Ying’er, tolonglah majikanmu!’ Kedua kalinya pada suatu malam di gerbang rumah keluarga Sun. Kali ini dia mengenakan topi, jubah merah, dan ikat pinggang gading. Ia memberi istriku sebungkus perak. Ketiga kalinya adalah di Kuil Puncak Timur, tempat ia muncul sebagai hakim di Kuil Pembalasan, dan memberi istriku gulungan ini, sambil menyuruhnya untuk mencari kebenaran atas ketidakadilan yang menimpa dirinya. Dewa Hakim itu sama persis dengan Sun Besar, almarhum majikan istriku.”

Mendengar cerita ini, Hakim Bao tertawa terbahak-bahak. “Jadi, begitu kejadiannya.” Atas perintahnya, anak buahnya lalu menahan pasangan Sun dan membawanya ke depan sidang.

“Benar-benar bagus perbuatan kalian!” Katanya kepada pasangan itu.

Sun Muda mengelak, “Aku tak melakukan kesalahan apa pun!”

“Jangan berbohong!” Hakim Bao lalu menguraikan baris-baris yang diberikan oleh dewa di Kuil Pembalasan. “Baris pertama yang berbunyi, ‘Cucu besar, cucu kecil’; Aksara mandarin untuk cucu adalah sun(孙), yang juga adalah marga dari kedua kepala pegawai. Jadi yang di maksud di sini adalah Sun Besar dan Sun Kecil. Untuk baris ‘Yang pertama menabur, yang kedua menuai’ mengacu pada dirimu, yang mengambil istrinya dan menikmati kekayaannya tanpa mengeluarkan apapun. Untuk baris ketiga dan keempat, ‘Untuk mengetahui apa yang terjadi pada pukul tiga / Pindahkan api dan keringkan air di bawahnya’. Sun Besar meninggal waktu tengah malam, dan untuk mengetahui penyebabnya, kita harus mengeringkan air di bawah api. Ying’er melihat majikannya di tungku dapur, rambutnya terurai, lidahnya menjulur, dan matanya meneteskan darah. Ini adalah tanda-tanda orang yang mati dicekik. Juga ada kisi-kisi sumur di lehernya. Sumur adalah sumber air. Tungku dapur adalah sumber api. Jadi mengenai ‘air di bawahnya’ pastilah ada sumur di bawah tungku dapurm, dan mayat Sun Besar pastilah ada dalam sumur itu. ‘Bulan kedua atau ketiga tahun dapan’ adalah sekarang. Sedangkan baris ‘Ju Si akan datang untuk memecahkan teka-teki ini’ mengacu pada diriku, karena karakter ‘ju'(句) dan ‘si'(巳) disatukan akan menjadi karakter ‘bao'(包). Jadi maksudnya adalah aku, Bao Zheng, akan datang sebagai hakim di sini dan memecahkan teka-teki untuk memperbaiki kejahatan yang telah menimpa Sun Besar.

Ia lalu memerintahkan anak buahnya dan Wang Xing untuk membawa Sun Muda ke dapur rumahnya di bawah penjagaan ketat, dan dalam keadaan apa pun membawa jenazah Sun Besar. Orang-orang itu ragu-ragu pergi ke rumah Sun. Saat mereka memindahkan tungku, tampaklah sebuah tutup batu. Saat batu itu dibuka, ternyata memang ada sumur di situ. Mereka lalu menyewa beberapa pekerja untuk mengeringkan sumur. Seorang lelaki masuk ke dalam sumur itu dengan menaiki keranjang bambu yang diikatkan ke tali. Dan tak lama kemudian, ia pun keluar dengan membawa sesosok mayat. Orang-orang berkumpul dan untuk melihat dan mendapati bahwa wajahnya tampak seperti masih hidup. Beberapa orang mengenalinya sebagai wajah Sun Besar. Di lehernya terdapat sehelai sutra yang digunakan untuk mencekik dirinya. Sun Muda sangat ketakutan sehingga ia hanya membisu, wajahnya berubah warna seperti warna lumpur. Orang-orang juga terkejut.

Ternyata inilah yang terjadi. Sun Besar pernah menolong Sun Muda yang hampir mati beku dalam salju. Ia merasa kasihan pada lelaki muda tampan itu, sehingga dia menolongnya, lalu mengajarinya baca-tulis. Ia tak menyangka bahwa istrinya akan berselingkuh dengan lelaki muda itu. Suatu hari, Sun Besar pulang ke rumah setelah nasibnya diramal. Kebetulan Sun Muda juga baru saja menyelinap ke dalam rumahnya. Setelah mendengar ramalan yang mengatakan Sun Besar akan mati malam itu juga, ia mendapat kesempatan untuk membunuhnya dan melemparkannya ke dalam sumur. Lalu Sun Muda berjalan ke arah sungai sambil menutupi wajahnya, dan melemparkan batu ke dalam sungai, untuk membuat orang mengira bahwa itu adalah suara Sun Besar yang menceburkan dirinya ke sungai. Lalu tungku dapur dipindahkan untuk menutupi sumur itu. Kemudian, pasangan itu menikah melalui jasa comblang.

Para petugas melaporkan masalah itu kepada Hakim Bao. Pasangan Sun mengaku sebelum dihukum pukul, dan akhirnya dihukum mati sebagai pengganti nyawa Sun Besar. Untuk menepati janjinya, Hakim Bao memberi Wang Xing sespuluh tael perak. Wang Xing lalu memberikan tiga tael perak kepada Pegawai Pei sebagai tanda terima kasih.

Setelah memecahkan kasus dalam hari-hari pertamanya sebagai hakim, Hakim Bao kelak menjadi tokoh yang sangat terkenal, dan namanya tersebar ke seluruh negeri. Bahkan sampai hari ini, cerita bagaimana ia memecahkan kasus di antara manusia di siang hari, dan di antara para hantu pada malam hari, tersebar luas seperti yang dikatakan oleh puisi tersebut:

Baris-baris itu teka-teki yang paling membingungkan;
Keputusan Hakim Bao membuat kagum hantu-hantu dan dewa-dewa.
Biarkan semua orang yang bersalah tahu;
Jangan mengira langit tidak mengetahuinya.

Sumber : Kumpulan Cerita untuk Memperingatkan Dunia, oleh Feng Menglong