Hai pembaca CeritaMistis! Perkenalan namaku Hasan Catra ini ceritaku yang kedua di sini. (Cerita sebelumnya terkait perjalanan ke Sumbawa bisa baca di sini). Langsung saja cekidot !!

Rabu siang dapat pesan W.A dari temanku intinya minta diantarkan ke majlis guruku di Tuban untuk berobat. Langsung kuiyakan. Kuberitahu dia besok jam 8 pagi sudah sampai di rumahku. Agar sampai di majlis sebelum dzuhur, bisa sholat berjamaah bersama kyai Guru.

“San, aku mandi di rumahmu ya?”

“Ya,” balasku di pesan Whatsapp jam 7-an pagi.

Baru sebentar aku duduk di depan rumah, ada motor Vario putih melaju cepat belok ke rumahku.

“Wah, tepat kamu Don, jam setengah 8 sudah sampai …?”

“Ini, aku tadi habis antar adikku ke sekolah, maunya tadi mampir ke rumahmu sih San, mandi, tapi nggak jadi…”

“Oh… Adikkmu sekolah di SMK mana tow..??“

“Di SMK Kota.”

Jam setengah 8 aku berangkat dari Kediri, boncengan motor sama temanku Doni. Perjalanan kami melewati dua kota yaitu Nganjuk dan Bojonegoro. Sampai di Bojonegoro seperti biasa aku berhenti di warung langgananku untuk istirahat. Nasi di warung ini murah tiga ribuan, isinya nasi dengan tahu bumbu tahu asin pedas.”

“Don kamu kopi pa teh … ??”

“Teh hangat saja…”

“Teh hangat dua pak.. ”

“Ok Mas… ”

Di warung itu kami berdua istirahat 15 menit, lalu lanjut seperempat perjalanan untuk sampai di majlis. Baru mau ambil motor posisi mau starter gas, tau-tau dihadang orang nggak dikenal minta uang.

“Mas minta uang,” kata pria umurnya kira-kira mendekati 45-an.
“Inih…,” kuambilkan uang recehan lima ratusan rupiah di saku motor Doni.

“Kurang.. ,” sambil nyelonong merogoh saku montor Doni.
“He.. !! Sudah!! Jangan maksa kamu ya…. Kalo minta uang ..??” Terang Doni marah sama orang di depannya.

Kuberikan semua uang recehan yang ada di saku motor Doni. Pemilik warung menghampiri kami dan menasihati laki-laki tersebut. Motorpun ku starter kembali. Dan kulanjutkan perjalanan.

“Biarin saja orang tadi Don, itung-itung amal sedekahmu hari ini,” kataku meredam Doni yang agak marah tadi sama orang yang meminta-minta tadi.

“Iya San. Wah aneh orang tadi,” timpal Doni.

Setengah jam perjalanan jalan yang kami lalui perkampungan dan persawahan akhirnya sampai tiba di Majlis. Baru sampai gerbang disapa sama Mas Rovi.

“Dengaren hari-hari biasa maen ke sini?”

“Iya inih.. Mau nganter temanku ini mau jadi Jamaah Thoriqoh.”

Kulihat Mas Rovi sibuk ngelintingi rokok dengan cara manual khas-khas anak santri hehehe… Kuselonjorkan kakiku. Sambil rokokan buatan Mas Rovi tadi.

Sambil menunggu dzuhur tiba aku ngobrol-ngobrol dengan Mas Fuad yang lagi mukim di majlis hampir sebulanan.

Kudengar azan dzuhur dari masjid sekitar, siap-siap kuambil wudhu untuk persiapan sholat. Rasanya bila ku ke Majlis tidak sholat jamaah dengan Kyai, getun sekali jika tidak sholat berjamaah dengan Kyai.

Karena pahala sholat jamaah 27 derajat, di samping itu sholat dengan orang yang ahli ilmu atau ulama pasti nilainya beda dengan Abid (ahli ibadah) tetapi tidak menguasai ilmu agama.

Setelah sholat dzuhur selesei kusampaikan maksudku ke Kyai. Bahwa temanku mau berobat sekalian mau jadi jamaah TQNS.

“Sakit apa?” tanya Kyai.

“Inih yai, temanku ini alat kemaluanya gatal-gatal dan luka nggak kunjung sembuh-sembuh.“

“Kok bisa. Asalnya gimana?”

“Gimana Don asalnya,” tanyaku sambil menyikut tubuh Doni yang sedang duduk disampingku.

“Asalnya meruntus-meruntus Yai,” kata Doni bingung mau ngomong sungkan di depan Kyai.

Langsung saja Kyai memanggil Robert untuk dijadikan mediator. Kulihat udah ada yang masuk di tubuh Robert.

“Ini siapa?” tanya Kyai.

“Jin… ” jawab Robert yang dijadikan mediator.

Langsung sama kyai diislamkan dan dikeluarkan. Dan ada yang masuk kembali ke mediator

“Ini siapa?”

“Aku yang di dalam situ Kyai.. Yang buat balungnya uglak-uglik. Aku rumat-rumat. Kerasakan Mas balungnya aku giniin” tanya mediator sambil memandangi Doni.

“Hei gimana, Don?” kataku kepada Doni.

“Iya … ”

“Sukses aku berarti…” timpal kata jin tersebut. Yang membuat geli menahan tawa kami semua. Setelah diislamkan kyai, jinnya lalu dikeluarkan. Sebenarnya itu balung kaki doni yang sakit tiap main futsal, katanya waktu nendang bola kayak menghantam maesan(nisan) kuburan waktu main di tempat futsal yang notabene bekas kuburan.

Ganti lagi masuk tapi gerakanya yang merasuki kayak orang keple tanganya.

“Benar kamu yang buat gatal-gatal,” tanya Kyai ke Jin yang masuk di mediator.

“Benar Kyai. Aku yang garuk-garuk kemaluanya biar gatal Kyai. “Ampun… ampun… panas….”

Kyai terkekeh-kekeh mendengar pengakuan jin tersebut. Dan santri lain yang ikut dari tadi menonton tertawa-tawa. Ku lihat ekspresi Doni tegang. Aku mau menahan tawa tapi nggak bisa. Hehehe ya akhirnya ketawa-tawa.

“Hayo kamu ada yang menyuruh tidak?”

“Ada Kyai… ada”

“Siapa yang menyuruh ?”

“Dari desa…. desa….” jawab jin yang mereka-reka nama desa.

“Temanmu ada berapa di situ?”

“Ada banyak Kyai…”

“Banyak ada berapa…?“

“Ada 200….200juta, berapa ya bentar kuhitung.. dulu kyai.. 200… ?” terlihat jin ini bingung menghitung jumlah temannya tadi.

“Hayo nolnya di belakang berapa?”

“Ada enam Kyai..”

“Sekarang masuk Islam semua dan pergi kesawah-sawah sana..”

“Iya Kyai… ” kata jin yang patuh takut kepada Kyai.

Kyai kemudian memanggil Mas Pras untuk dijadikan mediator lagi.

“Inih siapa .. yang masuk?? “

“Saya orang alas roban Kyai”

“Kamu yang mengirimi?”

“Iya benar Kyai..“

“Ambil semua kirimanmu sekarang.”

“Iya Kyai, aku ambil kembali,” mediator terlihat membuat gerakan mengambil sesuatu.

“Sudah? Semua.. ?“

“Sudah Kyai.”

“Kalo ada yang tertinggal aku kembalikan ke dirimu.” Kyai mengembalikan kiriman yang tertinggal ke dukun itu.

“Sekarang kamu kuberi pilihan. Mau ilmunya dicabut atau ruhmu saya lempar ke bumi kesepuluh?”

“Aduh kyai, ilmuku jangan dicabut lawong lelakunya lama eg mendapatkanya, kok dicabut.”

“Terserah kamu mau dilempar dimasukkan ke tubuh orang itu?”

“Ampun Kyai. Kok orangnya ngeri itu hi… hi… Tinggi besar-besar sepohon kelapa seram hi… takut Kyai…. ”

Si dukun ketakutan melihat penampakan orang tinggi besar penghuni bumi ke sepuluh.

Kyai senyum tertawa sambil melihat ketakutan dukun tersebut.

“Ya kamu mau dibawa orang tinggi-tinggi besar itu, dan kumasukkan ke salah satu tubuh orang itu?”

“Ampun kyai jangan… ampun…. hikz…..hikz… ampun.. ” mediator guling-guling di lantai sambil menangis… Semua yang menonton mediumisasi ruh dukun ini ketawa-ketawa melihat dukun ini minta ampun dan ketakutan.

“Ya, sekarang ilmumu kucabut… ”

“Wah apes aku… Ini tinggal nunggu mati saja…mau cari makan, aku kerja apa Kyai klo ilmuku di cabut” celoteh dukun tersebut nggak mau ilmunya musnah.

“Kamu kerja di sawahkan bisa… Atau macul di Alas Roban” nasehat kyai ke dukun tersebut.

“Waduh Kyai, kan klo jadi dukun aku mudah cari uang…”

“Mau gimana lagi. Kan ilmumu sudah musnah tidak ada.”

“Gini saja. Kamu kan dari Alas Roban. Pergi saja ke Guruku Kyai XXXX dekat Alas Roban sana.”

“Oh iya.. Iya kayak pernah tau aku…. Wah ke sana kyai, jauh Kyai… ”

“Ya terserah kamu gimana lah”

“Itu di dalam temanmu ada berapa?”

“Ada tujuh Kyai.”

“Ya sudah kukembalikan ke tubuhmu.“

“Bentar kyai.. Salam dulu…. Assalamualaikum wr,” mediatorpun sadar.

Melihat gelagat dukun ini membuat kyai dan kami ketawa lagi hahaha.
Setelah selesei mediumisasi tersebut. Kami berdua sekalian didongkrak.

“Nama keren rukyah jaman now dari TQNS hehehe”.

Setelah makan di majlis, kusuruh Mas Fred untuk mengajari temanku cara dzikir Thoreqoh.

“Dari Kediri ke sini berapa jam Mas?” Tanya mas Fred.

“Tiga setengah jaman tadi, tadi istirahat di Bojonegoro di warung.” kataku

“Dari Kediri lewatnya terabasan hutan itu Ya mas.“

“Iya Mas..”

Ngobrol-ngalur ngidul seperti biasa dengan teman semajlis.

“Gimana Don sudah bisa dzikirnya?”

“Udah ini.”

“Ya nanti klo belum bisa tanya mas Hasan ini kan rumahnya dekat denganmu”

“Iya.. dekat 5 km-an.“

“Gini Don, kamu menjalankan amaliah dari majlis sini, kamu dapat sambungan karena amaliyah ini sambung-menyambung sanadnya dari guru ke guru sampai ke rasulullah SAW itulah pentingnya sanad keilmuan, jadi menjalankan amaliah dari sini ya kamu nanti ada powernya. Di umpamakan kirim pesan sms lewat HP. HP itukan ada batere, SIM card, sinyal.”

“Sinyal itu hakekat, tapi memang tidak kelihatan.” timpal Mas Fred.

“Iya,” Doni merenungi perkataan kami berdua. Kulihat dia lelah kusuruh tiduran merebahkan badan. Nanti setelah sholat ashar aku bangunkan.

Ku lihat ada dua orang tamu baru datang kemudian didongkrak oleh Mas Pras dan Robert. Dibersihkan tubuhnya dari jin beserta kotorannya bersemayam di tubuh kedua tamu tersebut. Udah terbiasa setiap orang yang datang ke majlis kyai di dalam tubuhnya banyak jinnya pasti baru masuk majlis ndredeg dan jin yang ada di dalam tubuhnya kerasa mau keluar.

Seperti temanku Doni ini waktu pertama kali masuk main ke rumahku langsung bereaksi yang di dalam tubuhnya hingga dia mau muntah akhirnya aku dongkrak(rukyah) sekalian karena memang Doni ini pernah mengamalkan ilmu pukulan brajamusti dari guru pencak silatnya.

Waktu ada acara dangdut di desanya, ada kericuhan berantem di antara penonton dangdut, ia lerai dan Doni langsung menonjok sekali orang yang membuat keributan langsung jatuh tidak bisa berdiri.

Aku yang dari tadi sibuk ngobrol dengan Mas Zai yang sedang melipati bajunya yang menumpuk.

“Temenmu nggak kamu obati sendiri aja?” tanya Mas Zai

“Iya mumpung, alhamdulillah dapat hidayah mau jadi jamaah TQNS sekalian berobat ya kuantar ke sini. Juga biar tambah yakin dengan apa yang dia saksikan alami tadi.”

“Iya benar juga sih. Nanti pulang atau di sini mesisan besok Sabtu dzikir Akbar Malam Minggu legi.”

“Nanti habis sholat ashar pulang, repot temanku soalnya ngurusi warung kopinya kalo aku ya nggak papa sebenarnya.”

“Oh…”
Baru ngobrol sebentar sudah masuk ashar. Aku siap-siap sholat Ashar jamaah.
Setelah selesai sholat Ashar aku pamit ke Kyai mau pulang. Kulihat kedua tamu dua orang tadi minta amaliyah dzikir TQNS. Aku pamit pulang salaman ke semua teman-teman yang mukim di majlis.

Pulang perjalanan seperti biasa melewati dua hutan Bojonegoro dan Nganjuk dan sampai di Kediri jam setengah 8 malam.

Penulis: Hasan Catra