Balian merupakan tabib yang bertugas untuk mengobati orang. Pada zaman dahulu, ketika teknologi medis tidak semaju sekarang orang-orang suku Dayak meminta pertolongan pengobatan kepada seorang balian.

Teknik pengobatannya umumnya dalam bentuk sebuah upacara. Lama upacara ini bisa berbeda-beda bergantung separah apa kondisi sang pasien. Nah kali ini Cerita Mistis akan memaparkan salah satu balian yang sangat terkenal di antara kalangan suku Dayak sendiri, Balian Mambur.

Kisah ini berasal dari kepercayaan orang Dayak Bukit di daerah Sampanahan, daerah di ujung tenggara pulau Kalimantan berseberangan dengan Kotabaru Pulau Laut Kalimantan Selatan. Konon ada seorang pemuda bernama Tanghi yang berubah menjadi Balian Mambur, tabib sakti menurut kepercayaan Kaharingan.

Tanghi semenjak kecil tealh ditinggal mati kedua orang tuanya.  Hidupnya tidak karuan dan luntang lantung mengharap belas kasihan orang. Sampai ada seorang duda yang merasa kasihan dengan Tanghi dan mengangkatnya menjadi anak. Tanghi kemudian tumbuh dewasa dalam bimbingan dan lindungan oleh orang yang sudah dianggapnya ayah ini.

Dia diajari bertanam, berburu, dan berbagai keahlian hidup lainnya. Tanghi merasa sangat menyayangi dan menghormati ayah angkatnya ini.

Namun, bencana kembali mendatangi hidup Tanghi, ayah angkatnya yang sangat disayanginya, meninggal dunia. Sebagai remaja tanggung Tanghi sangat terpukul dan tidak tentu arah memikirkan nasib hidupnya kelak. Setelah ayahnya selesai dikuburkan, Tanghi tidak mau meninggalkan kuburan ayahnya ini, dia terus menerus menangis dan meratapi kepergian ayahnya. Selama tiga hari tiga malam Tanghi menjagai kuburan ayahnya, pada malam ketiga Tanghi merasa kelelahan dan tertidur di dekat kuburan itu.

Pada saat itulah datang Bumburaya. Bumburaya merupakan makhluk gaib yang senang makan mayat hewan maupun manusia… Wujud Bumburaya umumnya tinggi tegap hampir 3 meter, berwarna hitam. Rambut-rambut badannya sepanjang kelingking. Sering menyamar sebagai anjing atau kerbau.

Menurut kepercayaan, Bumburaya ini akan datang setelah orang mati dikuburkan. Itulah sebabnya ada kepercayaan Kaharingan untuk menunggui orang yang meninggal hingga tiga hari di kuburannya. Selama tiga hari Tanghi menangis dikuburan ayahnya itu ternyata Bumburaya tidak berani mendekat, setelah Tanghi tertidur dikira Bumburaya kuburan itu sudah tidak ada lagi yang menjaganya. Mulailah Bumburaya dengan ganasnya menggali tanah untuk mencari mayat di dalamnya, Tanghi yang tadi tertidur tiba-tiba terbangun mendengar bunyi kuburan digali. Tanghi mencari-cari asal suara itu, dilihatnya di dalam kuburan ada makhluk asing yang hanya pernah didengarnya dari cerita orang tua dulu.

Di sekitar kuburan yang digali tadi terdapat Salipang (tas kecil dari rotan yang digantungkan di bahu), menurut cerita salipang ini adalah tempat Bumburaya menyimpan ilmu kesaktiannya. Dengan mengendap-endap Tanghi mendekati salipang yang ditinggal di atas liang dan segera mengambilnya, Bumburaya terkejut mencium bau manusia hidup, segera ia bangkit dengan pandangan mengerikan dan mengancam Tanghi yang sedang memegang salipang miliknya. Tetapi Tanghi tidak merasa gentar, karena dalam kesedihannya ia tidak peduli lagi apakah hidup atau mati.

Melihat manusia yang ada dihadapannya tidak takut, Bumburaya melunak dan berusaha membujuk Tanghi untuk mengembalikan salipang miliknya. Rupanya tanpa salipang miliknya Bumburaya tidak memiliki kekuatan apa-apa kalau ingin menghadapi manusia.

“Kembalikanlah salipangku” bujuk Bumburaya.

“Tidak, kamu sudah berlaku jahat terhadap kuburan ayahku” tolak Tanghi.

“Kalau tidak mau, akan kubunuh kau!” ancam Bumburaya.

“Bunuhlah! Toh tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia. Tak ada tempat aku mengadu dan rumah tempat bernaung. Lebih baik mati saja daripada merana menanggung derita” tantang Tanghi.

“Kamu masih kecil. Belum waktunya mati. Aku tidak bisa membunuh kamu” kata Bumburaya melunak.

Adegan bujuk membujuk ini berlangsung lama, Tanghi tetap pada pendiriannya untuk minta bunuh, minta mati kepada Bumburaya. Sedangkan Bumburaya tidak mau membunuh Tanghi karena menurutnya belum waktunya Tanghi mati. Akhirnya Tanghi membujuk Bumburaya untuk menghidupkan kembali ayahnya, tetapi Bumburaya memberi peringatan bahwa tubuh ayahnya sudah sebagian hancur apabila dihidupkan akan menjadi bentuk yang mengerikan. Tanghi bersedia apapun bentuk ayahnya asal bisa tetap hidup bersamanya. Maka mulailah Bumburaya menghidupkan ayah Tanghi.

Ternyata memang benar saat ayah Tanghi bangkit, matanya dan sebagian besar tubuh sudah dimakan ulat dan mengerikan! Tanghi melihat kondisi ayahnya malah ketakutan, ia minta kepada Bumburaya untuk mengembalikan saja ayahnya dalam kubur. Bumburaya pun kembali mematikan ayah Tanghi dan mengembalikan mayatnya dalam kubur.

Setelah keinginan Tanghi dipenuhi ternyata Tanghi tetap tidak mau mengembalikan salipang milik Bumburaya. Tidak kehabisan akal Bumburaya pun membujuk Tanghi dengan kesaktian miliknya.

“Apa maksud kamu?” tanya Tanghi.

“Untukmu kuberikan minyak yang ada di dalam salipang. Minyaknya sangat berkhasiat, orang sakit dan orang mati bisa disembuhkan kalau diusapkan minyak ini,” terang Bumburaya.

“Jika begitu, aku bersedia” kata Tanghi.

“Tapi ada satu syaratnya, kamu tidak boleh terlalu jauh mengobati orang, batasnya tidak boleh sampai bermalam di tempat orang yang akan diobati, ” kata Bumburaya lagi.

“Mengapa begitu?” tanya Tanghi.

“Jika kamu sekehendak hati mengobati orang hingga jauh-jauh, tidak ada lagi orang yang mati, maka tidak ada mayat untuk aku makan lagi, ” Bumburaya menerangkan.

Tanghi pun setuju, dikembalikannya salipang milik Bumburaya, setelah itu segera Bumburaya memberikan ilmunya serta minyak untuk mengobati orang sakit bahkan orang yang sudah mati kepada Tanghi. Akhirnya Tanghi menjadi pananambaan (tabib) yang sanggup mengobati sakit apa saja dan menghidupkan kembali orang yang mati. Nama Tanghi semakin terkenal, berduyun-duyun orang menemuinya, bagi yang sakit ringan datang sendiri, yang sakit berat didatangi ke rumah tetapi Tanghi tetap memegang syarat untuk tidak terlalu jauh menambai (mengobati) orang. Karena ketenarannya itu ia mendapat gelar Balian Mambur konon cara Balian ini masih dipakai sampai sekarang.

Beberapa tahun kemudian Tanghi sudah tua dan berkeluarga serta semakin terkenal. Rupanya dengan ketenarannya itu dan niat baik Tanghi membuatnya lupa untuk tidak mengobati orang jauh-jauh sehingga Bumburaya tidak mempunyai makanan mayat lagi di sekitar sana dan akhirnya pergi meninggalkan Tanghi. Akibatnya ada orang yang iri dan mengetahui rahasia perjanjian Tanghi dengan Bumburaya. Saat Tanghi melakukan pengobatan yang jauh, orang yang iri itu menculik anak dan istri Tanghi kemudian membunuhnya, supaya Tanghi tidak bisa lagi menghidupkan dibakarnya mayat mereka berdua dan abunya dibuang ke sungai.

Saat Tanghi pulang dia tidak menemukan anak dan istrinya, kata orang kampung mereka berdua sudah dibunuh dan dibakar tanpa ada sisa mayatnya lagi. Mendengar ini Tanghi pun kehilangan semangat hidup, pikirnya buat apa dia bisa mengobati orang tetapi keluarga sendiri tidak bisa disembuhkan. Akhirnya Tanghi bertekad tidak ingin lagi menemui manusia, dia bersumpah bila manusia ingin bantuannya harus mengadakan upacara balian delapan hari delapan malam tanpa makan dan tidur terus menerus batandik. Setelah mengucapkan sumpah itu Tanghi menghilang jasadnya mendewata dan tidak bisa lagi ditemui manusia.

Sejak saat itu di kepercayaan Kaharingan bermunculan Balian-Balian lainnya untuk melakukan pengobatan tetapi tidak ada yang sehebat Balian Mambur yang sampai bisa menghidupkan orang mati. Balian yang lain selalu berupaya memanggil Balian Mambur tetapi tidak ada yang sanggup. Menurut kepercayaan apabila ada orang Dayak bukit sakit kemudian diobati Balian tetapi tidak berhasil berarti Balian Mambur tidak sudi datang menolong mereka.